Begini, ada dua perspektif dalam soal bela
ulama. Pertama dari sisi umat yang membela. Kedua dari sisi Ulama yang dibela.
Dari perspektif umat, pembelaan itu lebih bersifat khidmah atau pelayanan.
Tanpa dimintapun, umat yang mencintai ulama akan segera memberikan pembelaan.
Sebenarnya, ini tidak hanya berlaku untuk ulama, saat keluarga yang Anda cintai
diganggu orang, Anda pasti akan bereaksi memberikan pembelaan.
Nah, sementara dari sisi sang ulama ini perlu
catatan khusus. Ulama mana dulu, karena zaman sekarang ini kan di negeri kita
ada jenis ulama yang -maaf- sepertinya lebay banget minta dibelain....Padahal,
ulama sejati pasti mengerti dirinya sudah pasrah total dalam pemeliharaan
Allah, Tuhan yang mereka yakini sebagai Sang Pembela sesungguhnya.
Ulama yang mencapai derajat kekasih Allah itu
dicirikan dua hal; pertama, tidak ada ketakutan dan kedua tidak ada kesedihan.
Tidak takut itu berarti berani (asy-Syajâ'ah), keberanian mereka di atas
rata-rata. Syekh Ramadhan Al-Buthi tidak pernah gentar menghadapi ancaman
Teroris ISIS saat beliau mendukung Basyar Asad, beliau tidak pernah menyeru
pendukungnya untuk mengawal dirinya, dengan gagah berani beliau tetap mengajar
di majelis-majelis tanpa pengawalan hingga akhirnya beliau syahid dalam aksi
bom bunuh diri teroris ISIS saat beliau sedang mengajar.
Yang kedua adalah sikap tidak pernah bersedih
alias tenang (al-ithmi'nân) dalam menghadapi rintangan apapun dalam perjuangan
da'wah. Ketenangan ulama sejati ini merupakan isyarat ketinggian maqam mereka
sebagai kekasih Allah. Mereka tidak pernah gelisah sehingga tidak perlu
menuding pihak lain telah mengkriminalisasi dirinya. Mereka tidak galau dalam
soal keuangan sehingga tidak perlu bekerja sama dengan mafia anggaran, penjahat
birokrat ataupun pengusaha lintah darat, mereka memiliki ketenangan yg hebat
karena seluruh kehidupannya diyakini telah mendapat ridho dari Allah.
Pada zaman kerajaan Turki Utsmani dulu ada dua
jenis ulama. Ada ulama Resmiyé ada juga ulama i resmiyé. Ulama Resmiyé itu
diangkat langsung oleh pemerintah sebagai tameng yg siap melahirkan fatwa
berdasar kepentingan kerajaan, dapat dikatakan ulama Resmiyé itu stempelnya
pemerintah. Ya mirip-miriplah dengan MUI di zaman Orba yang suka bekerja sesuai
pesanan pemerintah.
Marwah seorang ulama itu tidak akan pernah
runtuh oleh prilaku orang lain, ia hanya dapat dijatuhkan oleh kezaliman yang
dilakukan oleh dirinya sendiri. Bila seorang ulama dihinakan oleh seseorang
atau katakanlah oleh kekuatan makar sejagat sekalipun, sementara ia adalah
pribadi yang mukhlis (tulus), rahîm (penuh kasih), hilm (sabar), tsiqah
(terpercaya), nâfi'un li ghairih (bermanfa'at bagi orang lain), maka kemuliaan
dirinya tidak akan pernah bisa dihancurkan sekalipun jin dan manusia berkumpul
di dunia ini untuk menghancurkannya.
Sementara kemuliaan seorang murid atau sebut
saja dalam skala besar sebagai umat tentu saja berjalan berkelindan dengan sang
teladan. Ketokohan ulama yang rabbani akan membimbing para pengikutnya sebagai
pribadi yang hanîf dan jauh dari sikap arogan dalam melakukan pembelaan. Akhlaq
yang baik menjadi guidence dalam penyelesaian setiap urusan sehingga warna
kehidupan di sekitar ulama dan pengikutnya yang baik akan menampilkan situasi
yang baik pula.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari
pelbagai peristiwa yang belakangan meramaikan Jakarta lewat pentas peristiwa
yang melibatkan ulama, umat, pemerintah serta media yang terus menyuguhkan lalu
lintas berita tiada henti di beranda kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar