Hukum salah satu aspek di antara banyak aspek
yang mengikat kehidupan sosial. Persepsi bahwa hukum mengatasi aspek lain
tertuang dalam jargon: 'hukum adalah panglima!' Tuntutan aktivis Islam terhadap
penegakan syariah Islam juga dijiwai persepsi yang sama: hukum adalah goal dan
muara.
Saya tidak setuju dengan klaim ini. Hukum bukan
panglima. Di atas hukum ada moral dan akhlak. Misi Rasulullah, sebagaimana
ditegaskan oleh sebuah hadis, bukan menegakkan syariah/hukum Islam, tetapi
menyempurnakan akhlak manusia. Syariah sekadar wasilah (cara), bukan ghayah (tujuan).
Raksasa pemikir Jerman, Immanuel Kant, mengatakan hukum tertinggi bukanlah
hukum positif yang tertuang dalam kitab hukum, tetapi hukum moral yang terletak
di batin manusia.
Jika segala hal diselesaikan secara hukum,
betapa repotnya aparat penegak hukum menyelesaikan bertumpuk kasus hukum. Di
hadapan kita sekarang tergelar sindrom masyarakat "kami-hukum-en"
atau "kami-fikih-en". Itu adalah idiom Jawa untuk menggambarkan orang
yang terserang gejala yang ingin mendekati segala hal dengan hukum dan fikih.
Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit fikih. Moral dan akhlak hilang.
Kemanusiaan 'ngumpet.'
Bapak/Ibu ingin dengar apa yang dikatakan
al-Qur'an? Setelah menjelaskan hukum yang paling keras yaitu qisas, Allah
memungkasi firman-Nya dengan ayat: "wa in ta'fu wa tashfahu fa huwa
khairul lakum." Jika kalian mengampuni dan berlapang hati, itu lebih baik
buat kalian. Itu ajaran al-Qur'an. Jika terhadap kasus hukum berat saja
al-Qur'an mendorong pemaafan dan bukan penghukuman, apalagi terhadap kasus 'kecil'
yang berurusan dengan kepentingan kita atau pemahaman kita yang nisbi.
Tidak semua hal harus berujung di meja hijau.
Banyak hal yang beres di meja makan, sambil nyeruput kopi, dan berbagi. Monggo
sarapan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar