Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya
ibadah dan kehidupan muslim nantinya jika semua orang selalu diminta “mana
dalilnya?” dalam setiap pekerjaan mereka. Ini fenomena beragama yang ‘aneh’,
selalu meminta dalil dan dalil yang dimaksud adalah ayat Qur’an atau juga
hadits Nabi s.a.w.
Kalau Semua Harus Tahu Dalil ...
Kalau saja semua muslim itu harus tahu dalilnya
dalam beribadah, dan dalil yang dimaksud adalah Qur’an dan hadits Nabi S.A.W,
coba bayangkan bersama saya, jika tidak mau bersama saya, bayangkan sendiri
saja, berapa banyak ibadah umat Islam ini yang tertolak dan tidak sah, karena
memang banyak muslim yang beribadah tapi tidak tahu dan tidak hafal ayat dan
hadits yang menjadi dasar ibadahnya. Wudhunya tidak sah, karena hadits tentang
membasuh muka serta atau yang menjadi bukti kepala diusap itu mereka tidak
hafal. Akhirnya semua ibadah yang dilakukan sia-sia, kalau sejak awal tahu itu
sia-sia, lalu Ngapain ibadah?
Lebih lagi, jika semua harus tahu dalil, karena
beranggapan bahwa semua ibadah itu harus tahu dalilnya, bagaimana dan siapa
yang akhirnya menunjang dan menaga keseimbangan hidup ini? siapa yang akhirnya
menjadi arsitek, menata gedung dan kota jika semuanya sibuk belajar ayat dan
hadits? Dan siapa yang mau jadi dokter untuk mengobati pelajar yang belajar
ayat dan hadits itu sakit? Lalu siapa pula yang mengurusi administrasi
kependudukan mereka jika semua PNS sibuk menghafal dalil? Siapa yang menjaga
kemanaan jika aparat militer negara mangkir dari latihan karena harus menghafal
dalil ibadah mereka?
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imron 104)
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah 122)
Distribusi Tugas Dalam Islam
dua ayat di atas –dan masih banyak ayat
lainnya- sudah cukup menjadi bukti, walaupun sejatinya argumen logika sebelum 2
ayat di atas sudah cukup menjadi bukti bahwa memang dalam Islam ini ada yang
disebut dengan “Distribusi pekerjaan”. Setiap orang bekerja sesuai bidangnya,
dan semua harus berimbang. Tidak semua menjadi “ustadz”, juga tidak semua
menjadi “dokter”. Harus ada pembagian pekerjaan agar seimbang hidup ini. nah,
agar begitu kuat, saya tambahkan 2 ayat agar memang para “pencari dalil” itu
yakin bahwa dalam Islam tidak semua harus jadi ahli agama. Dalam artian, tidak
semua harus tahu dalil.
Lihat ayat di atas, perintah untuk mendalami
agama itu ditujukan untuk “sebagian” dari umat ini. tidak semuanya. Semua
memang harus tahu kewajibannya dalam agama, akan tetapi kewajiban yang sifatnya
umum. Dalam hal mendetail, mengerti dalil, paham ayat serta mampu meneliti
hadits itu bukan pekerjaan semua muslim. Itu hanya beberapa orang saja, yang
memang sudah mengkhususkan dirinya untuk jadi seorang penyuluh agama yang baik.
Dalil Bagi Awam itu ...
Sejak dulu, mestinya para sahabat yang mulia,
yang mereka bertemu langsung dengan sumber syariah; Nabi s.a.w., mestinya
mereka itu ketika ditanya oleh awam sahabat, mereka sertakan juga dengan: “ini
dalilnya, dan hafalkan!”. Tapi nyatanya kita tidak mendapati itu. Mereka
menjawab dan banyak dari mereka hanya menjawab tanpa adanya ayat atau juga
hadits. Begitu juga yang dilakukan oleh ulama-ulama masa selanjutnya; Tabi;in
juga Tabi’u al-Tabi’in. Karena mereka tahu, paham serta mengerti, bahwa bukan
kewajiban awam untuk tahu dalil; karena tahu atau tidak tahunya awam terhadap
dalil itu sama saja tidak berguna.
فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى
المجتهدين
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam
itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w.
790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).
Itu kata Imam al-Syatibiy, dan kemudian beliau
meneruskan:
والدليل عليه أن وجود الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ
كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز
ذلك لهم ألبتة
Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi
orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah
dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka.
Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu. (Ibrahim bin Musa
as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337)
Memberikan dalil kepada orang awam itu seperti
memberikan material bahan bangunan kepada guru matematika. Ia tidak mengerti
bagaimana memanfaatkan bahan dan material tersebut, kalaupun dipaksanakan,
bukan bangunan yang berdiri akhirnya, tapi bisa jadi hanya tumpukan bata tak
bertata. Karena memang yang mengerti bagaimana bahan bangunan itu diolah adalah
tukang bangunan itu sendiri. Bahan dan material bangunan itu bahan mnetah, yang
hanya bisa dimatangkan oleh yang ahlinya.
Begitu juga ayat dan hadits, kedua sumber mulia
itu adalah bahan mentah yang belum matang, dan sama sekali itu tidak berguna
dan tidak bermanfaat bagi awam. Ia bisa berguna dan bermanfaat jika memang
berada di tangan ahlinya; para ahli fiqih. Karena memang memgolah ayat dan
hadits sampai akhirnya kemudian menjadi sebuah produk hukum itu ada seni dan
kehalian khusus yang tidak semua bisa menguasai itu jika hanya bermodal sedikit
bahasa arab dan ikut pengajian mingguan.
Maka pertanyaan “mana dalilnya?” yang ditujukan
kepada awam pertanyaan yang salah sasaran dan keliru, karena awam tidak butuh
dalil ayat dan hadits. Mereka itu hanya butuh hukum yang mereka akses dari
gurunya, yang mana gurunya itu juga mengakses dari gurunya, hingga sampai rantai
akses itu kepada imam madzhab juga sampai kepada Rasululullah s.a.w..
Jadi tepatnya adalah; “siapa gurumu yang
mengajari itu?”. Kalau jawabannya “Rasul!”, itu juga keliru. Karena yang
namanya berguru itu bertemu, apakah ia bertemu dengan Rasul s.a.w. sehingga
yakin bahwa jawabannya itu memang benar jawaban dari rasul?
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar