Di tengah euforia artis yang
berbondong-bondong memakai jilbab dan beberapa selebgram yang mengusung istilah
hijrah, saya termasuk yang menganggapnya bukan suatu perubahan yang berarti.
Justru di balik istilah hijrah, saya menyimpan perasaan miris di dalamnya.
Pertama tentang pemaknaan hijrah itu
sendiri menurut para akhi dan ukhti dengan logat ana antum bermanhaj salafi dan
sedikit-sedikit menegakkan sunnah. Hijrah kini dipersempit sekedar memakai
jilbab bagi perempuan, tidak isbal bagi laki-laki, memanjangkan jenggot dan
memunculkan atsar sujud dengan makna tekstual menghitamkan jidat.
Kedua, dengan bergantinya model baju,
maqomnya naik ke level dakwah (auto ceramah), seseorang yang sudah hijrah
menganggap dia berhak untuk menyampaikan ilmu meskipun satu ayat. Tidak heran
banyak artis hijrah sudah berani membahas Hadis, membahas Qur'an dan menganggap
yang tidak ada dalam Qur'an dan Hadis adalah bid'ah. Orang pesantren yang
bergelut dengan alif ba' ta' dan tajwid terlebih dulu sebelum lancar membaca
Qur'an dan menyentuh nahwu sorof tafsir mending minggir dulu deh sama Hijrais
yang menyampaikan tafsir Qur'an dan Hadis karna mereka tercerahkan
kajian-kajian dari Para Ustad. Skripturalisme kaum ini terkadang tidak bisa
kita tawar dengan penjelasan serinci apapun dalam beberapa disiplin ilmu hingga
sulit bagi mereka menerima perbedaan madzhab yang berkembang dalam keilmuan
islam. Dan hati saya mak jegagig ketika ada artis yang baru pake jilbab nulis
caption hadis disertai status hadisnya yang sohih, disohihkan oleh Albani.
Padahal mustolah dan takhrij Hadis adalah ilmu yang rumit.
Tidak sampai pada hal itu saja,
tagar-tagar para ukhti di sosmed yang menyuarakan nikah muda, ta'aruf,
Indonesia bebas pacaran, dosa berkhalwat, hijab syar'i, cadar untuk
kesempurnaan kecantikan bidadari surgawi benar-benar bikin miris. Belum lagi
kalau ada selebgram hafid Qur'an yang nikah muda para ukhti heboh bikin tagar
patah hati dunia akhirat. Dan qodarullah (bahasanya ummu-ummu), tak ketinggalan
para ummahat solihah yang mengusung tagar kami masyarakat bebas riba (tapi
jualan online) dan selalu membicarakan bahaya laten PKI cukup andil mewarnai
dunia kesalafian sosmed. Ikhwan yang sudah menikah tugasnya menyudutkan
perempuan yang bekerja, nunjukin caranya jadi istri soleha dan berharap bisa
poligami, mereka bilang itu dalil dalam Qur'an yang tidak boleh diingkari. Aqu
qudu pengsan gaes sama logika ini.
Mengusung istilah hijrah setelah ganti
fashion yang lebih tertutup itu boleh-boleh saja. Tapi yang perlu diingat,
Islam itu statis dengan pemahamannya yang sosiologis dan dinamis tanpa
mengurangi keotentikan ajarannya. Islam yang dirisalahkan Nabi sejak ribuan
tahun lalu mustahil akan berkembang pesat hingga saat ini jika tidak sesuai
dengan perkembangan zaman. Lalu dengan entheng para Hijrais mereduksinya dengan
membawa Hadis tentang Ghuroba dengan versi tafsirannya "Islam itu asing
dan bangga menjadi orang asing". Tidak sedikit hadis tersebut diartikan
tidak masalah kita pakai cadar, menjauh dari komunitas dan menjadi orang asing,
tidak mengapa kita hanya berkumpul dengan yang sesama ukhti saja, tidak peduli
kita ditentang karna Nabi dulu juga ditentang saat dakwah.
Sebenarnya perkara cadar dan dakwah
mereka tidak terlalu kronis, saya tidak akan membicarakan lebih dalam.
Masalahnya, hadis ini lambat laut digiring untuk kemudian dijadikan 'senjata'
bagi para radikalis dan teroris yang menganggap makar dan menyerang yang tidak
sepaham dengan mereka sebagai "aksi heroik jihadis", ada jargon
"semakin asing seseorang semakin dekat dengan islam", padahal jauh daripada hal itu, Ghuroba yang
sesuai dengan akhlak Kanjeng Nabi adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan
di tengah manusia yang berbuat kerusakan, yang tidak menganggap dirinya suci di
tengah perkumpulan banyak orang, yang mampu menasihati diri sendiri sebelum
menasihati orang lain.
Bisakah kita berhijrah tanpa tagar
(ng)islami?
Ojo koyo islam-islamo dewe sak ndunya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar