Beberapa waktu lalu saya sempat melihat dan membaca salah satu
postingan status, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di akun media sosial
instagramnya, mengenai pengalaman mengenal
banyak Kiyai dengan latar profesi dan mapan secara ekonomi. Mulai dari
yang berprofesi sebagai pedagang, penulis hingga sebagai petani
Mbah Fadlon, merupakan sosok Kiyai kampung Kecamatan Pamotang Rembang, yang keseharian diisi dengan bekerja sebagai petani menggarap sawah hingga fisik kini tidak lagi mendukung. Tapi, meski usia sudah sepuh, Kyai Fadlol masih sanggup mengajar ngaji dan membaca kitab "Ihya-u 'Ulumiddin" karya Imam Ghazali tanpa kacamata
Sekilas bagi masyarakat yang melihat dari tampilan sederhana dan
bersahaja termasuk ketika berada di sawah, mungkin tidak akan menyangka kalau
beliau seorang Kiyai. Sosok Kiyai Fadlol mungkin satu dari sekian banyak kiyai
kampung di Indonesia, meski memiliki keilmuan dan pemahaman keagamaan mendalam,
tapi tetap memilih hidup bersahaja dan rendah hati.
Tampilan, sikap, prilaku dan tutur kata dalam keseharian apa
adanya, tapi tetap berwibawa. Mereka, Kiyai kampung jauh dari kesan formalistik
dengan atribut keagamaan melekat untuk
menunjukkan diri sebagai kiyai atau ulama yang perkataan dan perbuatan patut
diikuti dan diteladani, sebagaimana dilakukan kebanyakan ustad seleb ketika
diundang dan tampil berdakwah melalui media televisi
Jauh dari kesan hidup mewah dan glamor, dikawal layaknya raja,
memilik pengikut dan jamaah fanatik secara berlebihan, dielu elukan setiap
tampil mengisi pengajian dalam banyak kesempatan, layaknya ustad seleb. Kiyai
kampung juga tidak menerima honorarium, menerima bayaran atau sponsor setiap
memenuhi undangan mengsis pengajian
Padahal dengan keilmuan dan pengaruh dimiliki sebagai Kiyai, semua
itu bisa saja dilakukan dan didapatkan dari jamaah. Tapi mereka menyadari bahwa
berdakwah tidak semata untuk tujuan mengejar materi, popularitas dan dikenal
banyak orang. Dakwah juga tidak sekedar menceramahi jamaah dengan mengutip
dalil, ayat Al-Qur'an dan hadits nabi, tapi harus dibarengi dengan contoh dan
keteladanan
Dakwah dilakukan kebanyakan Kiyai kampung sebagai bagian dari upaya
menggugah kesadaran dan kesalehan spiritualitas masyarakat sebagai seorang
hamba dengan sang Pencipta maupun kesalehan sosial dengan sesama manusia,
membangun hubungan baik dan persaudaraan, melalui bahasa dakwah sederhana,
mudah diterima dan meneduhkan. Bukan caci maki, provokasi dan permusuhan,
sebagaimana dilakukan beberapa ustad seleb dan karbitan yang belakangan mulai
banyak berseliweran
Kalau berkunjung ke pesantren di daerah pedesaan atau perkampungan,
dengan mudah bisa kita temukan bagaimana Kiyai kampung biasa mengisi acara
pengajian, tampil bersahaja mengenakan sarung, sebagai ciri khas seorang santri
dan Kiyai kampung, tanpa pengawalan, mengajar dan mengisi pengajian dari
kampung ke kampung, dari masjid, satu menuju masjid lain, tanpa mengharapkan
imbalan
Dengan kedalaman ilmu keagamaan, kebijaksanaan, motode dan
pendekatan dakwah diterapkan, Kiyai kampung terbukti mampu menggugah kesadaran
dan menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat, tanpa menimbulkan
perselisihan dan mempermasalahkan perbedaan.
Materi dakwah disampaikan juga dengan mudah bisa diterima
masyarakat. Tidak heran meski seorang Kiyai telah meninggal. Sosok Kiyai
termasuk Ilmu yang pernah diajarkan tetap melekat dan dijadikan panutan
masyarakat
Berbeda misalkan dengan sebagian penceramah dan ustad pendatang
yang belakangan mulai banyak berseliweran di media televisi maupun melalui
kanal jejaring media sosial seperti YouTube.
Ceramah disampaikan tidak jarang menimbulkan kontroversi dan
meresahkan masyarakat. Materi dakwah
cendrung tidak sehat, provokatif, Sara dan mengandung ujaran kebencian terhadap
tokoh atau kelompok lain yang tidak disukai, jauh dari ajaran dan nilai - nilai
keagamaan
Lebih parah, materi dakwah belakangan juga sudah mulai ditarik dan
ditumpangi kepentingan politis meraih kekuasaan dengan mengutif potongan ayat
Tuhan yang dinilai menguntungkan sebagai pembenaran dan memainkan isu Sara.
Sehingga dimunculkanlah isu pemimpin anti dan pro agama Islam, kriminalisasi
ulama, isu PKI dan beberapa isu lain.
Ceramah tidak sehat dan provokatif dari ustad seleb dan karbitan
tersebut kemudian seringkali menimbulkan perselisihan dan polarisasi di tengah
masyarakat, terutama masyarakat yang malas membaca dan melakukan croscek atas
informasi diterima dalam bentuk teks maupun vidio, sangat mudah terprovokasi
dan menjadi pelaku penyebaran berita bohong, main share dan copy paste
Pelabelan Islam radikal, komunis, pancasilais dan tidak pancasilais
di antara sesama masyarakat merupakan puncak dari ceramah kontroversi dan
provokatif ustad karbitan yang kalau meminjam bahasa Prof. Mahfud MD ustad
macam itu sebenarnya tidak faham agama, tidak pernah ngaji. Ngajinya hanya dari
majalah, media sosial YouTube, Facebook dan Twitter.
Kondisi tersebut diperparah dengan kecendrungan sebagian
masyarakat, terutama generasi milenial, lebih senang mengikuti, mengutip,
mempertontonkan dan menyebarkan ceramah ustad seleb dan karbitan, dengan materi
dakwah yang tidak jarang tidak sehat dan menimbulkan kegaduhan di tengah
masyarakat. Tayangan beberapa media juga senang menghadirkan ustad, lebih
karena sisi hiburan untuk dikomersilkan daripada penceramah yang memang benar -
benar memahami ajaran agama secara lebih mendalam.
Mulai bermunculannya penceramah model tersebut tidak bisa
dibiarkan, selain tidak sehat juga bisa menjadi ancaman keberlangsungan
kehidupan berbangsa, dengan kondisi masyarakat Indonesia yang demikian beragam
dan plural.
Organisasi moderat seperti NU dan Muhammadiyah sudah saatnya mulai
semakin banyak tampil dan memainkan peran, menghadirkan dan mengetengahkan
ceramah menyejukkan melalui para Kiyai atau ulama tua maupun muda terutama di
media sosial, sehingga masyarakat bisa tercerahkan.
#NahdliyinOnline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar