Di ijazah ponpes Lirboyo yang saya miliki,
tertulis hadis berikut ini:
إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيْرٍ فُقَهَاؤُهُ،
قَلِيْلٍ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيْلٍ سُؤَّالُهُ، كَثِيْرٍ مُعْطُوهُ، الْعَمَلُ فِيْهِ
خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ. وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيْلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيْرٌ خُطَبَاؤُهُ،
كَثِيْرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيْلٌ مُعْطُوهُ،الْعِلْمُ فِيْهِ خَيْرٌمِنَ الْعَمَلِ
“Sesungguhnya kalian akan hidup di zaman
yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang
minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari
berilmu.”
Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya
sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi
sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (HR. Ath-Thabrani).
Fase yang pertama mungkin sudah lewat.
Tapi apakah saat ini kita sudah memasuki
fase yang kedua? Penceramah banyak, ahli pidato bertebaran, tapi ulama atau
orang-orang yang berilmu sedikit.
Belajar agama baru sebentar, eh sudah
berani berfatwa; baru belajar agama dari liqo' sudah berani menyalahkan sosok
ulama yang puluhan tahun belajar kitab kuning di pesantren dan perguruan tinggi
Timur Tengah. Baru belajar agama dari internet, eh sudah berani mencaci maki
ulama yang sudah menghasilkan karya besar.
Herannya lagi, orang yang hanya pandai
retorika, tutur kata indah, tapi minim ilmu dijadikan panutan. Justru yang
betul2 berilmu dinyinyiri...
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar