M Kholid Syeirazi - Sekretaris Jenderal
PP ISNU
Tulisan ini akan melacak akar ideologi radikalisme yang pada intinya adalah Islam sebagai ideologi politik dengan jargon الاسلام هو الدين والدولة وليس الدين والامة فقط: Islam itu agama dan negara, bahwa Islam itu sistem politik. Islam bukan sekadar agama dan umat, bukan hanya ajaran dan masyarakat. Tanpa Negara Islam, hukum Islam tidak bisa tegak. Tanpa hukum Islam yang total, Islam cacat dan seorang Muslim murtad begitu berhenti memperjuangkan formalisasi syariat.
Karena tulisan ini panjang, saya akan
pecah menjadi tujuh bagian, dengan urutan subjudul sbb.
Seri-1 Pengantar
Seri-2 DI/NII: Keluar dari Konsensus
Seri-3 Penetrasi Salafisme
Seri-4 Generasi Harbi Pohantun dan Infishâl
Seri-5 Jihad Pasca Afghanistan
Seri-6 Dari JI ke JAT, Dari JAT ke JAD
Seri-7 Penutup
Tulisan ini semi-akademis, dengan
referensi yang saya taruh di catatan perut. Daftar referensinya bisa dilihat di
bagian penutup. Dari tulisan ini, kita akan memperoleh gambaran bahwa terorisme
yang marak sekarang punya akar sejarah panjang dan terhubung dengan pergolakan
Islamisme di Timur Tengah.
Semoga bermanfaat.
SERI-1 PENGANTAR
Radikalisme ada pada semua agama, tetapi
dalam Islam, radikalisme atau fundamentalisme terbukti memainkan peran politik
terpenting sejak abad ke-18 (Barber, 1995: 206). Radikalisme dan
fundamentalisme, sebagai istilah, sering bertukar tempat karena bermuara pada
satu ide: menjalankan agama sampai ke akar-akarnya, mendasarkan seluruh aspek
kehidupan kepada agama. Kaum fundamentalis Islam umumnya menganggap Islam
adalah agama sempurna yang mencakup kerangka acuan semua aspek kehidupan—
duniawi dan ukhrawi—mengatur manusia sejak dari cara makan, tidur, bersuci,
beribadah, berniaga, hingga bernegara. Mereka menganggap aturan bernegara sama
bakunya dengan ketentuan syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Ketentuan
ibâdah dan siyâsah sama-sama tawqîfî (doktriner). Menjalankan rukun Islam tidak
sah tanpa menegakkan kepemimpinan politik Islam. Persoalan politik dan nashbul
imâmah, menurut mereka, termasuk pokok dan rukun agama (ركن من اركان الدين واصل من اصوله). Meragukan apalagi mengabaikan nizâm Islâm berkonsekuensi
membatalkan status keislaman seseorang. Tradisi takfir bermula dari paham
politik Khawarij yang memutlakkan pandangan politik-agama dan menggemakan
jargon: لا حكم الا الله (tidak hukum selain hukum Allah).
Dalam sejarah Islam, radikalisme
bersumber dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah doktrin
dan ideologi, faktor eksternal adalah imperialisme atau persepsi imperialisme
dan ketidakadilan yang merundung umat Islam. Narasi ini akan menggali sumber
internal radikalisme dengan melacak akar doktinernya pada paham salafi yang
berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-12 M dan mengeras menjadi ajaran
salafi-jihadi pada abad ke-20 M. Pengaruh ideologi salafi dan salafi-jihadi
meluas hingga ke Indonesia dan menjadi tantangan terhadap kemajemukan dan
kelangsungan NKRI.
Bahan Baku Radikalisme
Secara internal, radikalisme bermuara
dari doktrin kesempurnaan dan keserbamencakupan Islam (شمولية الاسلام). Islam
sempurna, karena itu tidak perlu ditambah dan dikurangi. Ajarannya mencakup
semua, karena itu tidak perlu mencari tuntunan dari luar Islam. Contoh terbaik
dari kesempurnaan Islam adalah praktek kehidupan generasi salafus shâlih.
Mereka adalah tiga generasi terbaik dalam rentang tiga abad sejak zaman Nabi
dan Sahabat, Tâbi’în, hingga Tâbiu’t Tâbi’în. Sahabat adalah mereka yang
bertemu Nabi dan mengakui risalahnya. Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu
Nabi tetapi bertemu Sahabat. Tâbiu’t Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu
Nabi dan Sahabat tetapi bertemu dengan Tâbi’în. Nabi bersabda:
«خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين
يلونهم»
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup
pada masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Tercakup dalam masa itu adalah para
pioneer madzhab-madzhab fikih Islam seperti Imam Hanafi (80 -148 H), Imam
Maliki (93 - 179 H), Imam Syafi’i (150 - 204 H), dan Imam Hanbali (164 - 241 H)
serta pemuka aliran teologi Islam Imam Abu Hasan al-Asyari (260 – 324 H).
Sebenarnya seluruh golongan Islam yang
mengakui dan mengikuti madzhab adalah salafi. Namun, belakangan, salafi merujuk
kepada gerakan salafisme yang dilancarkan Ibn Taimiyah (661 - 728 H/1263 - 1328
M), pembela ortodoksi Islam yang paling keras. Bermadzhab Hanbali dan cenderung
tekstualis, Ibn Taimiyah adalah pemuka puritanisme Islam, sebuah paham
absolutis yang tak kenal kompromi dalam beragama dan cenderung memandang
realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati (Abou
El Fadl, 2007: 29). Ibn Taimiyah sangat menentang pratek keagamaan sufi dan
tarekat yang dituding sarat bid’ah dan kemusyrikan. Dia juga menolak
pemerintahan manusia (human rule) dan bahwa kepemimpinan politik harus
berdasarkan syariah.
Hidup di masa politik bergolak akibat
invasi bangsa Tartar, pena Ibn Taimiyah setajam pedangnya. Fatwa-fatwa Ibn
Taimiyah menjadi rujukan hampir seluruh kaum fundamentalis Muslim dan gerakan
radikal jihadis kontemporer (Bonney, 2004: 111; Tibi, 1998: 38). Fatwa Ibn
Taimiyah yang paling populer adalah fatwa Il-Yasiq. Il-Yasiq (Vassa/Great Zasag
Law) adalah hukum kompilasi Mongol yang dibuat Genghis Khan, diberlakukan oleh
Mahmud Ghazan Khan (1271 – 1304 M), penguasa Mongol ke-7 yang telah masuk Islam
di area Syam. Menurut Ibn Taimiyah, meskipun Muslim, Ghazan Khan tetap wajib
diperangi karena memberlakukan selain hukum Allah. Kata Ibn Taimiyah (Ibn
Katsir, 1988: 24):
« إذا رأيتموني من ذلك الجانب وعلى رأسي مصحف
فاقتلوني»
“Jika kalian lihat aku di sisi pasukan
Tartar, bunuhlah aku meskipun di atas kepalaku terdapat mushaf.”
Fatwa Il-Yasiq ini terkenal dan menjadi
rujukan kaum jihadis untuk memerangi setiap penguasa yang menolak mengadopsi
hukum Islam, meskipun dia seorang Muslim. Namun, tidak seorang pun yang
menerapkannya untuk menilai realitas masa kini hingga Abdus Salam Farag
melakukannya (As-Siba’i, 2002: 8). Farag adalah pentolan Jama’ah Jihad Mesir
yang mengotaki pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981.
Ajaran Ibn Taimiyah menjadi gerakan
revolusioner di tangan Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115 - 1206 H/ 1701 - 1793
M). Beraliansi dengan Muhammad Ibn Saud (1710 – 1765 M), kepala suku Dir’iyah,
Wahhabisme memulai aktivitas takfir berdarah untuk memurnikan tauhid dan ritual
umat Islam. Pada era 1700-an, Wahhabisme melakukan serangkaian pembunuhan dan
penjarahan di seluruh wilayah Arabia. Pada 1802, aliansi Saud-Wahhab menyerbu
Karbala dan membunuh sebagian besar kaum Syiah serta merampas properti,
senjata, baju, karpet, emas, perak, dan mushaf al-Qur’an (Algar, 2002: 23-25).
Belasan tahun setelah wafatnya Ibn Abdul
Wahhab, Wahhabisme masuk ke tanah air melalui tiga orang Minangkabau yang
pulang haji pada 1803 M dan membawa ajaran salafi. Mereka adalah Haji Miskin,
Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka membentuk kaum Padri yang keras
memerangi praktek bid’ah dan khurafat serta mengobarkan jihad melawan kaum
Adat. Orang yang tak mau tunduk dibunuh, surau-suraunya diserang dan dibakar
(Parlindungan, 2007). Perang saudara bergolak selama dua puluh tahun (1803-1823
M). Pada 1825, di bawah kepemimpinan Tunku Imam Bonjol, Kaum Padri dan Kaum
Adat berkompromi dan menghasilkan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah.
Ajaran purifikasi muncul kembali dalam
sejumlah ormas Islam yang dibentuk menjelang Indonesia merdeka yaitu
Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), dan Persis (1923). Dakwah mereka di satu
sisi adalah memerangi TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) dan mewujudkan “Islam
murni” sehingga bisa disebut salafi. Di sisi lain, mereka ingin umat Islam maju
dan mengambil aspek tertentu dari kemajuan Barat sehingga disebut kaum
modernis. Kiblatnya adalah gagasan-gagasan tajdid Islam Jamaludin al-Afghani
(1838 – 1897 M), Muhammad Abduh (1849 – 1905 M), dan Rashid Rida (1865 – 1935
M).
Gerakan reformisme Islam Abduh
menimbulkan gelombang sekularisasi politik dan agama. Sejumlah murid Abduh,
seperti Saad Zaghlul, mendirikan Partai Wafd yang berhaluan nasionalis sekuler.
Alî Abd Râziq menulis buku Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang mendukung langkah
Ataturk menghapuskan Khilâfah dan menyatakan bahwa agama tidak berurusan dengan
politik. Resah dengan gelombang sekulerisasi, Rashid Rida lantas “mewahabikan”
kembali gerakan tajdid Abduh dan menghadirkan ulang Ahmad ibn Hanbal dan Ibn
Taimiyah (Hanafi, 1989: 21). Pembelotan Rida terhadap tradisi reformatoris
Abduh kelak menyiapkan jalan bagi lahirnya Al-Ikhwan al-Muslimûn (IM), induk
organisasi militan yang didirikan muridnya, Hasan al-Banna, pada 1928.
Kaum modernis Islam goncang di antara
salafisme yang menuntut purifikasi dan modernisme yang mengakui segi positif
kemajuan Barat. Di Indonesia, aspirasi mereka adalah formalisasi syariat Islam.
Ini diperjuangkan oleh para tokohnya seperti Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir
(Persis) serta KH. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusuma, dan Abdul Kahar Muzakir
(Muhammadiyah) yang gigih membela konsep negara Islam sepanjang tahun 1920-an
hingga 1945. Gagasan ini juga didukung oleh KH. A.Wahid Hasyim (NU) dan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII) yang
punya latar belakang keagamaan tradisional. Perjuangan ini berhasil melalui
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, tetapi tujuh kata berbunyi “Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu berumur
pendek: didrop sehari setelah Indonesia merdeka demi menghindari perpecahan dan
keberatan dari rakyat Indonesia Timur.
SERI-2 DI/NII: KELUAR DARI KONSENSUS
Cita-cita mendirikan negara Islam belum
redup dengan konsensus 1945. Empat tahun setelah proklamasi, SM Kartosoewirjo,
bekas aktivis PSII yang bergabung ke Masyumi, memproklamirkan berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7
Agustus 1949. Dalam proklamasi NII disebutkan bahwa “Negara berdasarkan Islam”
dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah” serta menolak berlakunya
“hukum kafir.” NII mengadopsi tauhid hâkimiyah yang menegaskan bahwa Darul
Islam adalah manifestasi “kerajaan” Allah di Indonesia yang di dalamnya
ditegakkan hukum Allah, karena itu siapa pun yang menolak masuk berarti keluar
dari Islam (Dijk, 1981). Ormas Islam lain, meskipun punya kesamaan cita-cita
mendirikan negara Islam, menolak jalur subversif dan lebih memilih jalur
parlementer konstitusional. Muhammadiyah, misalnya, dalam Muktamar ke-32 di
Purwakarta tahun 1953 membentuk panitia yang diserahi tugas menyusun Konsepsi
Negara Islam di bawah kepemimpinan Abdul Kahar Muzakir. Konsep itu selesai dua
tahun kemudian dan diperjuangkan melalui Partai Masyumi (Syaifullah, 1997: 99).
Keberadaan Masyumi menyediakan saluran
konstitusional-parlementer untuk menampung aspirasi pendirian negara Islam. NU,
sejak keluar dari Masyumi tahun 1952, juga masih menyuarakan aspirasi Islam
sebagai dasar negara di forum-forum Konstituante (1956-1959). Tetapi, bersamaan
dengan deklarasi kembali ke Khittah 1926 sebagai ormas non-politik, NU
menegaskan NKRI final pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Menurut NU,
NKRI adalah final perjuangan umat Islam mendirikan negara dan seluruh aspirasi
umat Islam harus diperjuangkan dalam kerangka NKRI.
Komando Jihad
Obsesi membentuk Negara Islam tidak
pernah pudar. Setelah ditumpas TNI dan SM Kartosoewirjo dieksekusi mati pada 5
September 1962 di Kepulauan Seribu, bekas pengikut DI/NII mencoba
mengonsolidasi diri. Pada 1 Agustus 1962, sejumlah tokoh utama DI/NII seperti
Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat, Dodo Muhammad Darda, Ateng
Djaelani, dan Djaja Sudjadi melakukan ikrar kesetiaan kepada Republik
Indonesia. Kenyataannya, mereka masih terobsesi mendirikan Negara Islam. Reuni
untuk menghimpun kembali kekuatan terserak itu digelar di kediaman Danu
Muhammad Hasan, ayah bekas Ketua Dewan Syura PKS Hilmi Aminudin, pada 21 April
1971 di Jalan Madrasah 240, Situaksan, Bandung. Acara disponsori BAKIN yang
punya agenda memobilisasi seluruh eks DI/NII agar mendukung Golkar (Solahudin,
2011: 87).
Pada 1973, eks aktivis DI/NII, dalam
sebuah pertemuan di Jalan Mahoni, Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengangkat Daud
Beureueh sebagai Imam Jamaah DI. Disebut Jamaah karena DI/NII secara faktual
tidak lagi punya basis teritorial (qâidah amînah). Pada 1974, Daud Beureueh
mendeklarasikan jihad menegakkan syariat Islam di Indonesia. Di Jawa, sebagai pengondisian
jihad, Danu Muhammad Hasan melakukan propaganda dengan isu-isu hoax seputar
kristenisasi dan ancaman Cina-komunisme. Dipropagandakan, antara lain, bahwa
Komunis Internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada 1980 dan bahwa
saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan, 50 ribu lagi akan
masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul
melalui Serawak (Solahudin, 2011: 121). Di Sumatera, anak buah Gaos Taufik
(KPWB Sumatera) melakukan aksi teror dan perampokan di Bukit Tinggi, Medan, dan
Padang. Di Jawa Barat, Aceng Kurnia (KPW 7) membentuk Pasukan Berani Mati. Di
Jawa Timur, Hispran (Wakil KPWB) membentuk pasukan sabotase untuk merusak
berbagai fasilitas publik.
Aksi mereka tercium aparat. Pada Januari
1977, para aktivis Jamaah DI/NII di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera
diciduk aparat, termasuk Danu Muhammad Hasan, Hispran, Dodo Muhammad Darda,
Ateng Djaelani, Zainal Abidin, Mahmud Ghozin, dan Kadar Faisal. Total anggota
Jamah DI/NII yang ditangkap mencapai sekitar 700 orang. Imam Jamaah DI/NII,
Daud Beureueh, menjalani tahanan rumah di Jakarta sejak 1978. Aparat menyebut
gerakan mereka sebagai Komando Jihad.
Regenerasi Berlanjut
Penangkapan besar-besaran awal 1977 tidak
menyentuh JPM (Jama’ah Pemuda Mujahidin), organ DI/NII yang dibentuk untuk
merekrut anggota dari masjid kampus, ormas pemuda Islam, pemuda masjid, dan
masyarakat umum, terutama di Jawa Barat. JPM berhasil merekrut sejumlah aktivis
Pemuda Muhammadiyah di Bandung seperti Mursalin Dahlan (Mahasiswa Teknik Kimia
ITB, inisiator program pesantren kilat BPMI/Badan Pembangunan Muslimin
Indonesia, mantan Ketua IMM Jawa Barat), Heri Haryadi, dan Udin Wahyudin.
DI/NII juga mendapat tambahan tenaga dari eks-aktivis GPI dan PII seperti Aja
Jarul Alam, Djaja Budi Rahardja alias Edi Raidin, dan Aep Saiful Bachtiar.
DI/NII juga berhasil merekrut kader dari Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM)
seperti Saud Efendi dan Idang Saiful Hidayat yang merupakan alumni program
Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman ITB yang dimentori Dr. Imadudin
Abdurrahim (Solahudin, 2011: 122-23).
Di Jawa Tengah, DI/NII berhasil merekrut
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, bekas pengurus Al-Irsyad dan DDII
(Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) dan Haji Faleh, bekas pengurus Masyumi
Kudus. Di Jawa Timur, DI/NII berhasil merekrut Kirom alias Ning Azimah (aktivis
Pemuda Muhammadiyah Lamongan) dan Ahmad Ali Hasan Matali (aktivis Muhammadiyah
Sidoarjo). Di Sumatera, DI/NII berhasil merekrut Timsar Zubil (aktivis PII
Medan) dan Bardan Kindarto (aktivis Muhammadiyah Palembang).
Proses rekrutmen DI/NII di lingkungan
Islam modernis-salafis pecahan Masyumi dapat berjalan baik selain karena
kesamaan paham salafi, juga akibat otoriterisme rezim Soeharto yang dicap
anti-Islam. Ketika aspirasi politik tersumbat, sebagian mereka memilih jalur
subversif untuk merealisasikan cita-cita menegakkan syariat Islam. Situasi
represif juga menyuburkan lahan berseminya ideologi jihad.
Beberapa pentolan DI/NII yang lolos dari
penangkapan awal 1977 seperti Aceng Kurnia, bekas ajudan SM Kartosoewirjo, Adah
Djaelani, Rahmat Basuki, Ules Sujai, dan Toha Mahfud mereorganisasi Jamaah DI
menjadi gerakan bawah tanah dengan sistem sel tertutup yang tidak saling
berhubungan. Konsep hijrah SM Kartosoewirjo—pindah ke tempat aman untuk
menyiapkan jihad—dihidupkan lagi.
Pada 1 Juli 1979, Adah Djaelani diangkat
sebagai pemimpin pelaksana Jamaah DI/NII. Imamnya masih Daud Beureuh, meskipun
tidak efektif karena sakit dan menjalani tahanan rumah. Untuk membiayai
kegiatan, Adah Djaelani memerintahkan anggotanya melakukan aksi fa’i alias
perampokan. Dipimpin Warman, raja fa’i asal Garut, perampokan dilakukan di
Bandung, Malang, Majalengka, dan Ciamis. Aksi fa’i tercium aparat yang segera
memburu para pelaku dan menangkap pimpinannya, termasuk Adah Djaelani dan Aceng
Kurnia yang ditangkap pada 1981. Adah baru bebas tahun 1994.
SERI-3 PENETRASI SALAFISME
Kepemimpinan Jamaah DI/NII bergeser ke
Jawa Tengah (Solo) dan Yogyakarta di bawah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Ba’asyir yang direkrut menjadi anggota DI oleh H. Ismail Pranoto
(Hispran) pada 1976 dan ditunjuk sebagai pimpinan Jamaah DI/NII di Surakarta.
Masuknya Sungkar dan Ba’asyir menandai semakin kuatnya pengaruh salafi di tubuh
DI. Sungkar dan Ba’asyir adalah penganut Wahhabi. Sungkar alumnus SMA
Muhammadiyah Solo, Ba’asyir alumnus Pesantren Gontor. Semula radikalisme DI/NII
tidak dipengaruhi doktrin salafi karena proklamator DI, SM Kartosoewirjo,
adalah penganut Islam tradisional. Guru sang Imam adalah para ajengan
tradisional di Malangbong, Garut seperti Kiai Ardiwisastera, Kiai Yusuf
Tauziri, Kiai Mustofa Kamil, dan Kiai Ramli yang bukan penganut salafi. Sang
Imam bahkan dikabarkan adalah pengikut aliran tarekat Qadiriyah.
Pengaruh salafi masuk secara tidak
langsung melalui Aceng Kurnia, bekas ajudan SM Kartosoewirjo. Kebutuhan
menyusun buku panduan lengkap tentang doktrin tauhid dan jihad membawa sang
ideolog kepada buku-buku terjemahan karya ulama salafi-jihadi Timur Tengah
seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu A’la al-Mawdudi, dan
Abdul Qadir Audah. Di tahun 1970-an, buku-buku itu banyak diterjemahkan dan
diedarkan oleh DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pimpinan M. Natsir,
mantan ketua Masyumi. Bekerja sama dengan lembaga dakwah internasional seperti
Rabithah al-Âlam al-Islâmî dan IFFSO (International Islamic Federation of
Studen Organizations), DDII sepanjang taun 1970an menerbitkan 12 seri buku
karya ulama al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir dan Jama’ati Islam (JI) Pakistan.
Dari terjemahan buku Risâlah Jihâd karya
Hasan al-Banna, Ma’âlim fi-t Tharîq karya Sayyid Quthb, dan al-Mushthalahât
al-Arba’ah karya Abu A’la al-Mawdudi, Aceng Kurnia meramu tauhid hâkimiyah bernama
RMU (Rubûbiyah, Mulkiyah, dan Ulûhiyah). Inti konsep tauhid ini adalah
kewajiban setiap orang Islam mengesakan Allah dalam sesembahan (ulûhiyah),
hukum (rubûbiyah), dan pemerintahan (mulkiyah) yang manifestasinya adalah
penegakan Darul Islam.
Salafisme masuk semakin dalam ke tubuh
DI/NII ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mengambil alih
kepemimpinan Jamaah DI/NII yang lumpuh pasca penangkapan Adah Djaelani pada
1981. Sungkar dan Ba’asyir terkenal di Surakarta dengan dakwahnya yang anti bid’ah
dan khurafat. Di pesantren yang didirikan di Ngruki, mereka melarang upacara
bendera dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Pesantren Ngruki juga bekerja
sama dengan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab (LPBA)—sekarang berganti nama
menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), lembaga pendidikan
Wahhabi yang didirikan pada 1980 dan bernaung di bawah Universitas Islam Imam
Muhammad bin Saud, Arab Saudi. Sejumlah dosen LPBA/LPIA seperti Syeikh Halim
Hamada, aktivis al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) asal Irak, dikirim untuk mengajar
santri Ngruki.
Penetrasi ideologi IM ke Surakarta masuk
melalui institusi pendidikan Arab Saudi ini. IM memang banyak menginfiltrasi
lembaga pendidikan Arab Saudi, terutama melalui Universitas Islam Madinah yang
didirikan pada 1961 dan Universitas King Abdul Aziz yang didirikan pada 1967.
Di kedua universitas itu, para tokoh IM Mesir mendapat tempat teraman dan suaka
terbaik dari kejaran Gamal Abd Nasser yang memburu dan menangkapi para aktivis
dan tokoh IM sepanjang 1954-1970. Mereka meradikalkan paham Wahhabi dan
menempatkan Arab Saudi sebagai basis utama operasinya (Dreyfuss, 2007:
149-152). Kelak, di bawah komando putra mahkota Mohammad bin Salman, Kerajaan
Arab Saudi berkomitmen membersihkan pengaruh IM dari sistem pendidikan sekolah
dan perguruan tinggi.
Melalui buku dan tenaga pengajar salafi
ikhwani, sejumlah pikiran dan gerakan salafi IM ditransfer ke Surakarta.
Sungkar, misalnya, sangat terpengaruh buku Al-Islâm karya Said Hawwa, tokoh IM
asal Suriah, yang dibawa oleh Syeikh Halim. Sebelum dibai’at sebagai pemimpin
Jamaah DI/NII wilayah Surakarta pada 1976, Sungkar dipercaya M. Natsir menjadi
Ketua Pembantu Perwakilan DDII Cabang Solo pada 1970. Setelah bergabung ke
Jamaah DI/NII, Natsir memintanya melepaskan jabatan di DDII, tetapi keduanya
tetap berhubungan baik. Natsir bahkan membantu pelarian Sungkar ke Malaysia
pada 1985 karena ditarget aparat setelah kampanye menolak asas tunggal
Pancasila.
Setelah bai’at bergabung dengan DI/NII,
Sungkar beberapa kali berurusan dengan aparat keamanan dan kabur ke sejumlah
tempat.
Namun, kaderisasi terus jalan. Dibantu
Ba’asyir dan Hasan Bisri serta dua kolega Ba’asyir semasa nyantri di Gontor,
Abdul Kadir Baraja dan Abdullah Umar, DI/NII berhasil meluaskan pengaruh ke
Yogyakarta dan merekrut sejumlah kader potensial seperti Tolkah Mansyur, Yusuf
Latif, Fihirudin Moqthie alias Abu Jibril, Irfan S. Awwas (adik kandung
Fihirudun, sekarang menjadi Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin), Hasan
Bauw (kelak dibunuh karena dianggap berkhianat), Bambang Sispoyo, Nuri
Suharsono, dan Muchliansyah. Yang paling penting, melalui Fihirudin alias Abu
Jibril, DI/NII berhasil merekrut Ir. Syahirul Alim, M.Sc, da’i terkenal dan
dosen kimia Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) UGM. Tokoh
ini, belum genap setahun menjadi anggota DI, kelak dibaiat menjadi Imam Jamaah
DI/NII.
DI/NII Masuk Kampus
Menyusul penangkapan massal terhadap para
tokoh dan anggota DI/NII di Jawa Barat pada awal 1977, aparat menciduk para
tokoh DI Jawa Tengah pada akhir 1978, termasuk Sungkar—yang ditangkap di
Peterongan Jombang—Ba’asyir, Hasan Bisri, Sunarto, dan Abu Jibril. Menyusul
kemudian Abdullah Umar, Yusuf Latif, Nuri Suwarsono, dan Bambang Sispoyo.
Beberapa tahun kemudian, sejumlah tokoh DI dibebaskan dan menata ulang anggota
dan organisasi yang berpusat di Pesantren Ngruki. Kaderisasi mengadopsi sistem
usroh yang dipakai Ikhawanul Muslimin (IM) Mesir.
Pada Oktober 1982, Syahirul Alim diangkat
menjadi Imam DI/NII Jawa Tengah. Surat pengangkatannya ditandatangani Hasanudin
Hajad, orang dekat Daud Beureuh yang mengaku sebagai Panglima Perang NII. Pada
akhir 1982, Sungkar keluar penjara. Awal 1983, dia menginisiasi pertemuan Solo
yang membaiat Syahirul Alim sebagai imam baru Jamaah DI/NII menggantikan Daud
Beureuh. Tokoh DI Jawa Barat menolak dengan alasan Adah Djaelani belum mundur.
Mereka menyebut kelompok Sungkar liar. Di bawah Syahirul Alim, DI/NII memasuki
era baru, dipimpin seorang dosen dan dijalankan oleh pemuda dan mahasiswa.
Fokusnya adalah melawan rezim Soeharto yang dianggap murtad. Definisi takfîr
direvisi, tidak lagi men-jahiliyah-kan umat Islam di luar DI/NII, karena mereka
hanya korban kejahatan rezim murtad Orde Baru yang anti-Islam.
Kolaborasi Rumit
Keberhasil revolusi Iran 1979 turut
memprovokasi pemimipin dan anggota baru DI/NII untuk menggulingkan kekuasaan.
Untuk mencapai maksud itu, DI/NII bukan hanya rela bekerja sama dengan kelompok
oposisi sekuler seperti Petisi 50, tetapi juga dengan kaum Syiah yang menjadi
musuh bebuyutan kaum salafi. Sebelum tutup tahun 1982, Soeharto dirancang untuk
dibunuh bersama sejumlah menteri yang dianggap anti-Islam seperti Daud Yusuf,
Ali Moertopo, Amir Machmud, Amir Murtono, dan LB Moerdani. Mursalin Dahlan
bertugas memimpin tim eksekusi. Rencana pembunuhan gagal, dan sebagai gantinya,
Soeharto akan dieksekusi di Candi Borobudur saat peresmian pemugaran candi pada
23 Februari 1983. Rencananya, selepas eksekusi, akan digelar Apel Akbar Ikrar
Wahdatul Islam untuk mengambil alih kekuasaan pada 25 Februari 1983. Untuk
menarik massa Islam, undangan dibuat atas nama MUI. Mereka memalsukan kop
surat, stempel, serta tanda tangan KH Syukri Ghozali, Ketua MUI (Solahudin,
2011: 177).
Tetapi, rencana pembunuhan Soeharto
gagal, begitu juga dengan apel akbar. Penyandang dana rencana kudeta adalah Ir.
HM. Sanusi, tokoh Petisi 50—mantan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan
Kerajinan Rakyat (1966-1968), mantan anggota DPR/MPR RI, pernah menjadi
pengurus PP Muhammadiyah dan Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru. HM Sanusi
menyebut Mursalin hanya banyak bicara, tetapi tak bisa kerja. Sanusi kelak
ditangkap karena makar dan diduga mendanai aksi pengeboman gedung BCA dan pusat
pertokoan Jembatan Metro pada Oktober 1984 yang dilakukan GPK (Gerakan Pemuda
Ka’bah) dan divonis 19 tahun penjara.
Pada April 1983, MPR mengesahkan Tap MPR
No. II/MPR/1983 tentang Asas Tunggal Pancasila. Kelompok Islam marah. Soeharto
bersikap keras dan menangkap sejumlah dalang, termasuk Toni Ardie dan Irfan S.
Awwas pada 1984. Syahirul Alim non-aktif, Abu Jibril kabur ke Kalimantan.
Dibantu Muhammad Jabir, menantu Aceng Kurnia, Muchliansyah sembunyi di Jakarta
dan menata ulang jaringan usrah yang macet karena aktivitas politik. Basisnya
di Condet dan Jl. Wijaya, Jakarta Selatan. Nama DI/NII ditinggalkan, beralih menjadi
gerakan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pola kaderisasinya mengadopsi doktrin salafi
dalam amaliah dan IM dalam gerakan.
Sementara itu Mursalin Dahlan meneruskan
rencana makar, kali ini bersekutu dengan kaum Syiah Malang yang dipimpin Husein
al-Habsyi dan Ibrahim Jawad alias Krisna Triwibowo. Jawad pengagum Khomeini dan
terobsesi mengimpor revolusi Iran ke Indonesia. Kesamaan cita-cita menegakkan
syariat Islam dan menggulingkan Soeharto mempertemukan kader-kader pesantren
kilat binaan Mursalin Dahlan (LP3K) dengan kaum syiah. Perantaranya adalah
Muhammad Achwan, aktivis sanlat Malang. Kolaborasi kader LP3K dan Husein-Jawad
sepakat membentuk Ikhwanul Muslimin. Pada 21 Januari 1985, sebagai balas dendam
terhadap kelaliliman rezim atas umat Islam dalam kasus Tanjung Priok, mereka
meledakkan Candi Borobudur. Target selanjutnya Bali, tetapi bom keburu meledak
di bus Pemudi Express pada Maret 1985. Pengikut Husen Al-Habsyi dan aktivis
sanlat, termasuk Mursalin Dahlan, satu per satu ditangkap, tetapi Al-Habsyi sendiri
baru ditangkap pada 1990.
Hijrah ke Malaysia
Tindakan represif Orde Baru terhadap para
penentang asas tunggal Pancasila mendorong para aktivis Jamaah DI/NII hijrah ke
Malaysia. Pada April 1985—dibantu M. Natsir (DDII)—Sungkar, Ba’asyir, Abu
Jibril dan rombongan berjumlah total 23 orang kabur ke Malaysia. Muchliansyah
alias Solihin, pemimpin Usrah Jakarta, menyusul lari ke Malaysia bersama Ibnu
Thoyib, Sahroni, dan Syafki setelah melakukan aksi fa’i. Di Malaysia, Sungkar
dan pengikutnya tinggal di Kuala Pilah, Kuala Lumpur, dekat Madrasah Ittiba’
as-Sunnah yang mengajarkan paham salafi yang dipimpin Ustadz Hasyim Gani.
Sebagai penghubung (shilah) komunikasi antara aktivis DI/NII Malaysia dengan
DI/NII Indonesia ditunjuk Muzahar Muchtar.
Perjuangan Sungkar memasuki babak baru
usai bertemu Abdullah Kadungga, menantu Kahar Mudzakar, tokoh Permesta.
Kadungga membawa kabar bahwa dua tokoh jihad Afghanistan berpaham salafi,
Syeikh Abdullah Azzam dan Syeikh Abdur Rabb Rasul Sayyaf, mendirikan yayasan
Maktab al-Khidmat dan membuka program tadrîb ‘askarî (diklat militer) untuk
calon mujahidin dari luar Afghanistan. Salah satu pengurus dan donator Maktab
al-Khidmat adalah jutawan Arab Saudi, Usamah bin Ladin. Dibantu lobi M. Natsir,
Sungkar dan Ba’asyir terbang ke Arab Saudi untuk menggalang dana dan bertemu
Bin Baz menerima sejumlah nasehat perjuangan. Dari Arab Saudi, Sungkar dan
Ba’asyir bertolak ke Peshawar, provinsi perbatan Pakistan dengan Kabul,
Afghanistan, menemui Syeikh Rasul Sayyaf guna menjajaki pengiriman peserta
tadrîb ‘askarî. Tujuannya bukan untuk membantu mujahidin Afghanistan melawan
tentara Uni Soviet, tetapi menyiapkan para kader terlatih untuk mengobarkan
jihad bersenjata melawan rezim thaghut Orde Baru. Sayyaf menyambut baik dan
berjanji membantu memfasilitasi pejuang Indonesia mendapat diklat militer
selama enam semester.
Dikoordinir oleh Ibnu Thoyyib, para kader
DI/NII Solo-Yogyakarta-Jakarta diseleksi dari tiga sumber utama: jaringan
usrah, termasuk jaringan pesantren Ngruki; jalur non-usrah; dan jaringan
keluarga DI/NII. Ada juga dari jalur personal berbasis rekomendasi, meskipun
kecil, seperti kasus Nasir Abas yang direkomendasi Ustadz Hasyim Gani. Mereka
dikirim ke Harbi Pohantun (Akademi Militer) Ittehad-e Islami milik Rasul Sayyaf
mulai 1985 dan berlangsung hingga 10 angkatan. Pada 1986, Sungkar-Ba’asyir
masih sempat mengirim 50 orang, tetapi kemudian macet pasca penangkapan
jaringan usrah di Jakarta. Program dilanjutkan pada 1987 dan berakhir 1991.
Ittehad-e Islami adalah penerima bantuan terbanyak
dari pemerintah Arab Saudi. Dari 1980 hingga 1990, Arab Saudi dilaporkan telah
memberi bantuan resmi kepada mujahidin Afghanistan sebesar US$4 miliar, belum
termasuk bantuan swasta dari para pangeran dan swadaya masyarakat yang
dikumpulkan di masjid-masjid (Rasheed, 2007: 107). Selain karena bujukan
Amerika, keterlibatan dan dukungan Arab Saudi terhadap jihad Afghanistan adalah
untuk memulihkan citra Islam yang koyak akibat serangkaian liberalisasi yang
dilakukan Kerajaan, dimulai pada masa Raja Saud ibn ’Abd al ’Aziz al-Sa’ud
(berkusa 1953 – 1964) yang diteruskan oleh Raja Faisal bin ’Abdul ‘Aziz al-Saud
(berkuasa 1964 –1975). Selain menghapuskan perbudakan, Raja Faisal membuka
pendidikan bagi wanita serta memberi izin bagi mereka bekerja di luar rumah,
membuat Televisi Saudi dan membolehkan wanita menjadi pembawa acara,
mengizinkan pegawai nonmuslim bekerja di jazirah, dan mengizinkan peredaran
minuman beralkohol di daerah yang dihuni oleh orang asing.
Kebijakan liberalisasi dinilai menyimpang
dari paham pendiri Kerajaan. Pada 20 November 1979, Juhaiman al-Otaibi,
pengikut Jamâ’ah Salafiyah al-Muhtasiba (JSM) yang didirikan Syeikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz, menduduki Masjidil Haram bersama 300 orang pasukannya.
Tindakan makarnya adalah untuk meluruskan penyimpangan kerajaan terhadap
ortodoksi paham Wahhhabi. Insiden berdarah yang dipicu Otaibah memang berumur
pendek, tetapi Kerajaan kemudian mendukung habis-habisan dakwah salafi-Wahhabi
pada awal 1980 (Trofimov, 2007). Jihad Afghanistan menyediakan kesempatan
terbaik bagi Kerajaan untuk menyalurkan energi kaum militan domestik seperti
Juhaiman.
SERI-4 GENERASI HARBI POHANTUN DAN
INFISHÂL
Program Harbi Pohantun Ittehad-e Islami
berhasil meluluskan 200 orang dari target 300, sebagian kelak menjadi
tokoh-tokoh penting Jamaah Islamiyah, dan terlibat sejumlah aksi teror seperti
Bom Natal dan Bom Kedutaan Filipina tahun 2000, Bom Bali tahun 2002, dan Bom JW
Marriot tahun 2003.
Di antara alumni Harbi Pohantun adalah
Aris Sumarsono alias Zulkarnaen (angkatan I/1985), Ahmad Roihan alias Sa’ad
(angkatan I/1985), Ali Ghufron alias Mukhlas (angkatan II/1986), Muhaimin Yahya
alias Maulawi Zaid (angkatan II/1986), Thoriquddin alias Hamzah alias Abu
Rusdan (angkatan II/1986), Imam Baihaqi alias Musthopa (angkatan II/1986), Adi
Suryana alias Muhammad Qital (angkatan II/1986), Encep Nurjaman alias Hanbali
(angkatan IV/1987), Fihiruddin alias Abu Jibril (angkatan IV/1987/tidak tamat),
Muchliansyah (angkatan IV/1987/tidak tamat), Taufik alias Huzaifah (angkatan V/1987),
Farihin alias Ibnu (angkatan V/1987), Nasir Abas alias Sulaiman (angkatan
V/1987), Usman alias Abas (angkatan V/1987), Zuhroni alias Nu’aim (angkatan
V/1987), Suranto alias Umair alias Abdul Ghoni (angkatan VII/1987), Ainul Bahri
alias Abu Dujana (angkatan VII/1987), Jabir (angkatan VII/1987), Fathurohman
al-Ghozi (angkatan VIII/1999), Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Bara
(VIII/1999), Abdul Aziz alias Qudama alias Imam Samudera (IX/1999), Ali Imron
alias Ziad, adik kandung Ali Ghufron alias Mukhlas (angkatan IX/1990), Abu
Syeikh alias Umar Patek (angkatan IX/1990), dan Indrawarman alias Toni Togar
alias Abu Ubaidah (angkatan X/1991). Sungkar dan Ba’asyir sendiri alumni Harbi
Pohantun program takhasus enam bulan pada 1987. Program ini bertujuan memberikan
pelatihan-pelatihan perang secara cepat, diadakan di Kamp Kheldan milik Syeikh
Abdullah Azzam. Alumni lain program takhasus adalah Abdul Matin alias Dulmatin,
penggagas utama Lintas Tanzim Aceh.
Mereka diberi kesempatan praktek perang
di medan tempur bersama mujahidin Afghanistan, antara lain pada pertempuran
Joji, tempat mereka bertemu dengan Usamah bin Laden, jutawan Arab Saudi yang
ikut perang membela Afghanistan dan mendirikan kamp Musa’adah al-Anshar.
Di Harbi Pohantun, para siswa bukan hanya
mendapat diklat kemiliteran, tetapi juga doktrin-doktrin salafi dalam materi
akidah, fikih, tafsir, hadis dan fikih jihad. Jihad dalam pengertian baru yang
mereka terima adalah fardlu: fardlu ‘ain untuk jihad bela diri (jihâd difâ’i)
dan fardlu kifâyah untuk jihad ofensif (jihâd hujûmî). Tidak ada pengertian
lain di dalam al-Qur’an tentang jihad selain qitâl (perang fisik). Hadis
tentang ‘jihad kecil’ (perang fisik) dan ‘jihad besar” (perang melawan hawa
nafsu) adalah palsu. Syeikh Abdullah Azzam—yang mengajar di Harbi
Pohantun—menegaskan bahwa ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah yang menyebut jihad
di luar makna qitâl telah di-nasakh oleh ayat-ayat pedang (âyâtus saif),
terutama oleh QS. Taubah/9 ayat 5 dan 36 (Azzam, 1994: 76).
Azzam juga membenarkan terorisme
(irhâbiyah) dan menyebut terorisme sebagai perintah agama untuk menggentarkan
musuh-musuh Islam. Dalam salah satu ceramahnya yang viral, Azzam memberikan
pernyataan kontroversial (http://www.ssrcaw.org/ar/print.art.asp?aid=554878&ac=2):
نحن إرهابيون والإرهاب فريضة ، ليعلم الغرب والشرق اننا إرهابيون
واننا مرعبون (واعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله
وعدوكم). فالإرهاب فريضة في دين الله.
“Kami adalah teroris dan teror itu wajib,
agar orang Barat dan Timur tahu bahwa kami teroris (adalah ayat): (Dan
persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk meneror/menggentarkan musuh Allah dan
musuh kalian/QS. Al-Anfal/8: 60). Maka teror adalah wajib dalam agama Allah.”
Di Afghanistan inilah terbentuk ideologi
salafi-jihadi. Salafi karena menghendaki purifikasi tauhid dan syariah. Jihadi
karena menekankan kewajiban jihad dan jihad tidak punya makna lain selain
qitâl. Jihad berlaku bukan hanya terhadap kâfir harbî, tetapi juga penguasa
murtad yang menolak memberlakukan syariat Islam. Doktrin-doktrin jihad Ibn
Taimiyah, Sayyid Quthb, dan Abdus Salam Farag—pentolan Jamâah Jihâd, penulis
buku al-Farîdlah al-Ghâibah—memberi pengaruh kuat.
Generasi baru jamaah DI/NII produk Harbi
Pohantun ini kelak cekcok dalam paham agama dengan generasi DI/NII produk
Gunung Cupu. Mereka adalah bekas pelaku Komando Jihad yang bebas dari penjara
dan kemudian mencoba mereorganisasi jama’ah. Setelah aparat menggulung jaringan
usrah Jakarta pada 1986, atas inisiatif Ujang Baharudin, tokoh DI Lampung,
konsolidasi diadakan di Lampung pada 4 November 1987 dan mengangkat Ajengan
Masduki sebagai Imam baru Jamaah DI/NII. Ajengan Masduki adalah tokoh tua
DI/NII generasi Gunung Cupu, bekas Bupati DI/NII Tasikmalaya, anggota Dewan
Fatwa DI/NII pada masa Adah Djaelani. Rapat Majelis Syura juga mengangkat
Abdullah Sungkar sebagai Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT) Luar Negeri
dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Menteri Kehakiman.
Sungkar-Ba’asyir semula bai’at terhadap
kepemimpinan Ajengan Masduki dan bahkan sempat mengantar Sang Imam bertolak ke
Afghanistan pada 1988 menemui Syeikh Rasul Sayyaf untuk meminta bantuan senjata
bagi perjuangan DI/NII. Namun, hubungan baik Sungkar-Ba’asyir dengan Imam baru
DI/NII ini berlangsung singkat. Sebagaimana SM Kartosoewirjo, Ajengan Masduki
adalah pengamal tarekat. Pengikutnya juga tertarik dengan dunia mistik Islam,
sesuatu yang dianggap sesat dalam paham salafi. Sungkar beberapa kali mencela
kecenderungan mistik Sang Imam, tetapi Ajengan bergeming. Akhirnya, dibumbui
isu transparansi keuangan dan loyalitas, Sungkar dan Ba’asyir infishâl,
memisahkan diri dari Ajengan Masduki pada 1992 dan membentuk organisasi baru
bernama Jamaah Islamiyah (JI) pada 1993. Sungkar menjadi Amir Jamaah, dibantu
Majelis Qiyadah Markaziah (Majelis Pimpinan Pusat) dan Majelis Qiyadah Mantiqi
(Majelis Pimpinan Wilayah).
Pasca pembentukan JI, para kader DI/NII
di Afghanistan diberikan pilihan: mereka akan dipulangkan ke Indonesia/Malaysia
kalau memilih loyal kepada Ajengan Masduki atau tetap tinggal di Afghanistan
jika ikut JI. Sebagian besar alumni Afghanistan memilih ikut JI.
Setelah infishâl, DI/NII pimpinan Ajengan
Masduki tak lagi aktif sebagai gerakan makar, terlebih ketika pindah
kepemimpinan ke Abu Toto Abdus Salam alias Panji Gumilang. Toto alumni Gontor,
bekas aktivis GPI. Ketika Adah Djaelani bebas tahun 1994, dia menunjuk Toto
sebagai penggantinya pada 1997. Suksesi imâmah ke Toto ditolak kubu Ajengan
Masduki karena dinilai tidak sesuai pedoman. Rahmat Tahmid Basuki, anak SM
Kartosoewirjo, juga menolak. Namun, Toto paling kuat dalam jaringan dan dana.
Tahun 1998, Toto mendirikan Pesantren Al-Zaytun di atas tanah seluas 1.200
hektar. Duitnya berasal dari sumbangan penguasa dan pejabat, selain dari
pungutan anggota atas nama perjuangan. Di bawah Toto, pusat NII bergerak ke
KW-IX, bermarkas di pesantren megah Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu. Rekrutmen
kader NII masih jalan, namun bukan lagi untuk mengobarkan ideologi jihad
melawan NKRI, melainkan mengumpulkan duit untuk kepentingan Sang Imam dan
yayasannya atas nama perjuangan.
Di sisi lain, JI pimpinan
Sungkar-Ba’asyir aktif merekrut kader-kader jihadis, terutama dari 15 pesantren
yang didirikan para tokoh salafi-jihadi. Kader yang terseleksi dilatih di Kamp
Hudaibiyah Mindanao, kamp latihan militer milik MILF (Moro Islamic Liberation
Front) yang diserahkan ke JI sejak 1997. Para instrukturnya adalah alumni
Afghanistan seperti Nasir Abas, Imron Baihaqi alias Musthopa, Thoriqudin alias
Hamzah, Muhaimin Yahya alias Maulawi Zaid, dll. Dalam waktu dua tahun
(1998-2000), diklat militer berhasil meluluskan 170-an kader JI dari Malaysia
dan Indonesia. Sebagian lain dikirim mengikuti tadrîb ‘askarî di Mu’askar
al-Farûq milik al-Qaeda di Afghanistan. Selama dua tahun (1999-2001), sekitar
20-an kader JI, terutama dari Malaysia, mengikuti program ini seperti Dr.
Azhari dan Wan Min Wan Mat.
SERI-5 JIHAD PASCA AFGHANISTAN
Usai Uni Soviet menarik mundur pasukannya
dari Afghanistan pada Februari 1989, terjadi fitnah perpecahan di antara
mujahidin baik yang berasal dari Afghanistan maupun asing. Di internal
mujahidin Afghanistan perpecahan terjadi di antara Gulbudin Hikmatyar dari Hizb
Islam dengan Syeikh Ahmad Masoud dari Jama’ati Islam. Perpecahan juga terjadi
di antara mujahidin asing yaitu antara Syeikh Abdullah Azzam dan Dr. Ayman
al-Zawahiri terkait pilihan jihad pasca Afghanistan. Syeikh Azzam berpendapat
mujahidin harus meneruskan jihad di wilayah kaum Muslimin yang diduduki kâfir
harbî (kâfir ajnabî) seperti Palestina. Sementara Al-Zawahiri berpendapat
mujahidin harus kembali ke tempat asal masing-masing untuk memerangi para
penguasa murtad (kâfir mahallî) yang menolak memberlakukan hukum Islam.
Pendapat Al-Zawahiri cocok dengan misi
tadrîb askarî kader-kader DI/NII. Usamah Bin Laden juga cenderung kepada
pendapat Al-Zawahiri dan mendirikan al-Qaeda pada awal 1988. Al-Qaeda bertujuan
membentuk Khilâfah Islâmiyah dan memfasilitasi mujahidin di negeri Muslim
memerangi penguasa murtad yang menolak mendirikan negara Islam. Menurut Usamah,
jihad memerangi kâfir mahallî (near enemy) lebih utama daripada jihad memerangi
kâfir ajnabî (far enemy). Pikiran ini berubah pada 23 Februari 1998 ketika
Usamah mulai berpikir menyerang Amerika. Atas nama World Islamic Front, Usamah
bersama Ayman al-Zawahiri , Rifa’i Ahmad Taha, Syeikh Mir Hamzah, dan
Fazlurrahman mengeluarkan fatwa: “Membunuh orang-orang Amerika dan
sekutu-sekutunya, baik sipil maupun militer, adalah kewajiban setiap muslim
yang dapat dilakukan di negara mana pun bila memungkinkan.”
Fatwa Usamah ditolak para ulama senior
Arab Saudi murid-murid Bin Baz. Mufti ‘Am Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz Alu
Syeikh, menyebut Al-Qaeda dan ISIS “musuh nomor satu” Islam. Sebagai balasan,
Al-Qaeda mengkafirkan Kerajaan Arab Saudi. Al-Maqdisi, ideolog al-Qaeda,
menulis buku “Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah” yang
menyebut Arab Saudi sebagai negeri brengsek (al-daulah al-khabîtsah) dan penipu
yang mencampuradukkan hukum Allah dan hukum buatan manusia (Al-Maqdisi, ttp,
2000: 5, 17). Sementara ISIS dalam portal propagandanya, Dabiq Edisi ke-13,
menyebut Masjidil Haram diimami orang kafir dan merilis fatwa bunuh 17 ulama Saudi.
Ambon dan Poso: Medan Jihad Baru
Fatwa Usamah terbit tidak lama setelah
Indonesia dilanda pergolakan politik menyusul lengsernya Soeharto pada Mei
1998. Melalui KISDI, underbouw DDII yang dipimpin Ahmad Sumargono, aktivis JI
terlibat mendukung Habibie, termasuk menghalau mahasiswa yang menduduki DPR/MPR
dan menolak pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden. Pilihan ini mudah
dimengerti karena DDII adalah organisasi lama Sungkar sebelum masuk DI/NII.
Penyusupan JI ke KISDI berjalan mulus karena Usman alias Abas—anggota laskar
khos JI—adalah sopir pribadi Ahmad Sumargono. Melalui proyek politik ini,
sejumlah uang dari para pendukung Habibie mengalir ke tangan JI (Solahudin,
2011: 247-48).
Sungkar dan Ba’asyir baiat kepada Usamah
setelah diundang langsung bertemu dengan jutawan Arab itu di Afghanistan pada
medio 1998. Sungkar dan Ba’asyir juga mengajak para tokoh DI/NII bergabung
bersama Usama memerangi Amerika Serikat, tetapi ajakan itu ditolak. Sebagian
kader JI seperti Ibnu Thoyib, Ahmad Roihan, dan Thoriqudin juga menolak fatwa
Usamah dengan alasan memerangi musuh dekat tetap lebih utama ketimbang musuh
jauh. Sementara anggota JI yang setuju seperti Hanbali, Ali Ghufron, dan Abdul
Aziz alias Imam Samudera menyambut antusias seruan Usamah.
Perdebatan dua kubu reda ketika konflik
meletus antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso sekitar tahun
1999-2000. Dua kubu sepakat bahwa jihad membela kaum Muslim adalah kewajiban
yang tidak bisa ditunda. Konflik komunal menyediakan kesempatan terbuka bagi kader
JI terjun langsung ke medan tempur sebagai arena jihad. Dalam rangka
penggalangan dana jihad, JI sekali lagi bekerja sama dengan underbuow DDII
bernama KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis). KOMPAK dibentuk di beberapa
daerah, tetapi yang paling aktif adalah Solo, dipimpin Aris Munandar, alumni
Afghanistan (Angkatan IX/1991), adik kandung petinggi DDII bernama Muzayin
Abdul Wahhab. Selain menggalang dana, KOMPAK membuka program tadrîb ‘askarî di
Waemorat, Batubual, Kab. Buru, Maluku. Salah satu instrukturnya adalah Dr.
Azhari Husein, dosen Universiti Sains Malaysia (USM), salah satu otak bom Bali
2002 yang ditembak mati polisi pada 2005 di Batu, Malang. Alumni tadrîb ‘askarî
Waemorat yang menonjol adalah Abdullah Sonata, dikenal sebagai pemimpin
Mujahidin KOMPAK. Aksinya yang paling legendaris adalah memimpin penyerbuan
Markas Brimob Tantui, Ambon, pada 2006 dan berhasil merampas 900 pucuk senjata.
Meski kemudian hubungan JI-Mujahidin
KOMPAK memburuk, konflik telah menjadi ladang subur bagi JI menyebarkan paham
salafi-jihadi. Bahkan H. Adnan Arsal, tokoh Islam tradisional Poso,
meninggalkan madzhab Syafi’i dan menganut paham salafi-jihadi. Belakangan,
meski membantah, Adnan dituding melindungi jaringan teroris MIT (Mujahidin
Indonesia Timur) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.
SERI-6 DARI JI KE JAT, DARI JAT KE JAD
Saat Indonesia dirundung konflik komunal
dan JI menemukan ladang jihad, di tubuh JI terjadi dinamika menyusul wafatnya
Abdullah Sungkar, Amir JI yang disegani pada 20 Oktober 1999. Meski tidak definitif,
tampuk kepemimpinan pindah ke Abu Bakar Ba’asyir sebagai tokoh senior, tetapi
figur ini dianggap lemah oleh banyak anggota JI. Dalam Kongres Mujahidin I di
Yogyakarta, 5-7 Agustus 2000, sejumlah aktivis dan ormas Islam mengangkat
Ba’asyir sebagai Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah organisasi yang
banyak menampung veteran Afghanistan dan napiter eks-aktivis DI/NII. Ba’asyir
bersedia menjadi Amir MMI karena merasa bukan Amir JI yang diangkat sesuai
PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan JI). Meski ada upaya mengangkat Ba’asyir sebagai
pengganti Sungkar, JI kehilangan kepemimpinan definitif setelah 1999. Struktur
DI bisa dikatakan lumpuh, yang tersisa adalah para kombatan ‘liar’ yang tidak
terikat komando. Karena itu, ketika Hanbali dan Imam Samudera meledakkan 25 bom
di sejumlah gereja hampir serentak di delapan kota—yang dikenal dengan Bom
Natal 24 Desember 2000—Ba’asyir menyangkal terlibat. Sebagian besar anasir JI,
baik alumni Afghanistan maupun Mindanao, juga menolak bertanggung jawab.
Ba’asyir masih sempat melantik Nasir Abas
sebagai Ketua Mantiqi III JI pada April 2001. Namun, ketika gedung WTC
dihancurkan oleh Al-Qaeda pada 9 September 2001 (9/11), Ba’asyir menyangkal
terkait JI atau berhubungan dengan organisasi Al-Qaeda. Thoriquddin alias Abu
Rusydan alias Hamzah, dalam sebuah pertemuan di Mega Mendung pada 2 April 2002,
disebut-sebut diangkat menjadi pelaksana harian Amir JI.
Termotivasi dengan aksi 9/11, Encep
Nurjaman alias Hanbali, Ali Ghufron alias Mukhlas, Abdul Aziz alias Imam Samudera,
Ali Imron alias Ziad, Dulmatin, Umar Patek alias Abu Syeikh, Amrozi bin
Nurhasyim, Abdul Ghoni alias Umeir, dan Sajio alias Sawad kembali mengguncang
Indonesia dengan Bom Bali, 12 Oktober 2002. Meski menyangkal, Ba’asyir dituduh
terlibat dan kemudian dihukum penjara 2,6 tahun pada 3 Maret 2005. Para
petinggi JI yang anti Bom Bali juga diciduk aparat seperti Ahmad Roihan alias
Saad, Thoriqudin alias Hamzah alias Abu Rusydan, Musthopa alias Abu Tholut, dan
Nasir Abas alias Sulaiman.
Bebas pada 14 Juni 2006, Ba’asyir kecewa
terhadap MMI yang ternyata masih mengadopsi ‘sistem jahiliyah’ demokrasi dalam
kepemimpinan organisasi. Dia mundur sebagai Amir MMI pada 13 Juli 2008 dan
kemudian mendirikan Jamâah Anshârut Tauhîd (JAT) pada 17 September 2008. Pada 2010,
Ba’asyir kembali ditahan dan divonis bersalah pada 16 Juni 2011 atas tuduhan
mendanai pelatihan militer Aceh. Tuduhan lainnya, mendirikan sayap Al-Qaeda di
provinsi NAD. Ba’asyir dihukum 15 tahun penjara.
Dari JAT ke JAD
Aman Abdurrahman, pengagum Syeikh Abu
Muhammad al-Maqdisi (ideolog Al-Qaeda), semula ikut mendirikan JAT bersama
Ba’asyir. Dia juga dihukum 9 tahun penjara dalam kasus pelatihan militer Aceh.
Dari bilik sel tahanan Nusakambangan, Cilacap, dia mendirikan Jamâ’ah Anshârut
Daulah (JAD) pada Oktober 2014 dengan empat tujuan: (i) sebagai wadah
menyatukan para pendukung ISIS di Indonesia yang berasal dari berbagai
organisasi Islam, (ii) mempersiapkan kaum muslimin Indonesia untuk menyambut
kedatangan Khilâfah Islâmiyah, (iii) menyatukan pemahaman dan manhaj dari para
pendukung Anshar Daulah, dan (iv) mempersiapkan orang-orang yang hendak pergi
berjihad.
Dibantu Marwan alias Abu Musa, Zainal
Anshori alias Abu Fahry, dan Abu Khatib, Aman sukses mengajak ribuan orang
berbaiat kepada ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. Beberapa bulan sebelumnya,
al-Baghdadi—bekas anggota al-Qaeda—memproklamirkan berdirinya Khilâfah dan
mengangkat dirinya sebagai Khalîfah di Mosul pada 29 Juni 2014. Untuk mendukung
perjuangan al-Baghdadi, Aman pada awal 2015 merancang tadrîb ‘askarî untuk
pengikutnya di Gunung Panderman, Batu, Malang, dan mengirim pasukan ke Suriah.
Salah satu yang berangkat ke Suriah itu adalah Bahrun Naim, dalang teror
Sarinah di jalan MH Thamrin. Pelakunya sendiri Afif alias Sunakim, tukang urut
Aman Abdurrahman.
Dari dalam sel tahanan Nusakambangan,
Ba’asyir, atas bujukan Aman, dikabarkan mendukung perjuangan ISIS meski tidak
secara terbuka menyatakan bai’at. Dukungan Ba’asyir membuat pengikutnya gusar.
JI dekat dengan al-Qaeda dan organisasi afiliasinya, Jabhah Nusrah. Sementara
al-Qaeda tidak akur dengan ISIS dan menyatakan perang melawan Abu Bakar
al-Baghdadi sejak 11 September 2015. Sekelompok orang JAT yang tidak setuju
dengan sikap Ba’asyir seperti Muhammad Achwan, Firman Taufikuroman, dan anak
Ba’asyir sendiri—Abdur Rochim Ba’asyir—mendirikan Jamâ’ah Anshârus Syarîah
(JAS) pada Agustus 2014.
JAD menjadi kelompok teroris paling aktif
saat ini, meski terbilang lemah dalam struktur, kaderisasi, dan kemampuan
militer. JAD berbentuk jaringan otonom tanpa struktur komando yang jelas
seperti JI hingga 1999. Aman, pendiri JAD, ditangkap pada 2010 karena terlibat
pelatihan militer di Aceh dan dihukum 9 tahun penjara. Pada Desember 2016,
kepemimpinan diserahkan ke Zainal Anshori alias Abu Fahry. Zainal kemudian
mengundang semua sel JAD ke Malang untuk menyusun plot amaliah. Pada Maret
2017, Zainal ditangkap atas tuduhan mengotaki penyerangan pos polisi Tuban pada
April 2017 dan divonis 7 tahun penjara. Pasca penangkapan Aman dan Anshori, sel
JAD bergerak tanpa komando. Aman mungkin tetap figur paling berpengaruh, tetapi
penjara tak mungkin membuatnya efektif menjalankan komando. Pada 22 Juni 2018,
Pengadilan memvonis Aman hukuman mati.
JAD juga gampang merekrut orang tanpa
kaderisasi dan proses indoktrinasi panjang. Tanpa bekal agama yang cukup, orang
bisa bergabung ke JAD dan berbaiat ke ISIS. Rekrutmen, ideologisasi, dan
pelatihan amaliah kadang juga dilakukan secara daring. Sel JAD memang tergolong
paling aktif menggunakan platform media sosial. Di JI, anggota direkrut lebih
ketat dan kadang baru dibai’at setelah melalui proses indoktrinasi panjang
selama dua tahun. Tanpa kemampuan militer mumpuni seperti anggota JI yang
dilatih khusus di Afghanistan dan Mindanao, sel JAD umumnya tidak menerima tadrîb
‘askarî yang terstruktur dan sistematis, karena itu amaliahnya sekelas bom
panci seperti bom Kampung Melayu, Surabaya-Sidoarjo, dan Riau. Kemampuan
militer mereka tidak sanggup menghasilkan aksi se-spektakuler Bom Bali.
Terkesan amatiran, pelakunya kini mengambil pola baru: melibatkan keluarga dan
anak-anak. Selain untuk mengaburkan identifikasi aparat, pelibatan anak-anak
adalah untuk mengirim sinyal ke sel JAD lain bahwa kewajiban amaliah sudah
menjangkau keluarga, isteri, dan anak-anak. Target operasi amaliah JAD umumnya
kepolisian. Dari segi daerah operasi, terjadi pergeseran basis. Dulu DI/NII
berbasis di Jawa Barat dan kemudian bergeser ke Jawa Tengah di bawah
Sungkar-Ba’asyir yang mendirikan JI. Kini sel JAD yang paling aktif berada di
Jawa Timur. Artinya, semua bagian Pulau Jawa telah terpapar radikalisme.
SERI-7 (BAGIAN AKHIR) PENUTUP
Senapan memang bisa membunuh teroris,
tetapi tidak ideologinya. Radikalisme berakar dari ideologi salafi yang
didirikan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan
revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701 - 1793 M). Ideologi salafi
yang tidak toleran, absolutis, dan puritan membentuk cara berpikir radikal.
Radikal adalah separo modal untuk menjadi teroris. Salafi dengan programnya
yang keras menentang ‘syirik kubur’ dan amaliah bid’ah akan naik kelas menjadi
jihadis begitu terpapar doktrin ‘syirik undang-undang’ yang merupakan materi
tauhid hâkimiyah. Seorang jihadis akan menjadi teroris begitu siap melakukan
‘amaliah’ teror dengan iming-iming syahid, bidadari, dan surga.
Terorisme berakar dari doktrin-doktrin
jihad qitâl yang dibangun Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan Sayyid Quthb
(1906-1966 M), tauhid hâkimiyah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979 M), dan juknis
jihad Abdus Salam Farag (1954-1982 M). Di tengah situasi perang, doktrin ini
berkembang di tangan Abdullah Azzam (1941-1989 M), Abdurrab Rasul Sayyaf (lahir
1946 M), Usamah bin Ladin (1957-2011 M), Ayman al-Zawahiri (lahir 1951 M), dan
Abu Bakar al-Baghdadi (1971-2017 M). Perang global melawan terorisme telah
menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya. Paham salafi dan salafi-jihadi
masih punya banyak pengikut dan juru bicara. Dalam sistem demokrasi, mereka
bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat,
termasuk mengadakan kajian. Secara garis besar, dua kelompok salafi bersaing di
panggung dakwah Indonesia: Salafi-Hijazi dan Salafi-Ikhwani.
Salafi-Hijazi
Salafi-Hijazi menginduk kepada doktrin
Wahhabi dan pendapat duo ulama pro Kerajaan Arab Saudi—Bin Baz dan Nashirudin
al-Albani. Kajian mereka seputar pemurnian tauhid dan ibadah, membahas ‘syirik
kubur’ dan anti-bid’ah. Mereka apolitis, tidak menyentuh wilayah ‘syirik
undang-undang’ atau demokrasi. Ini bisa dimengerti karena kiblat mereka adalah
Arab Saudi yang berbentuk kerajaan. Sistem monarki, dalam perspektif
salafi-jihadi, bermasalah dan bahkan disebut sebagai representasi dâr al- kufr.
Salafi-Ikhwani
Salafi-Ikhwani menginduk kepada al-Ikhwân
al-Muslimûn (IM) Mesir yang didirikan Hasan al-Banna. Dari rahim IM inilah
lahir paham salafi-jihadi. Fokus gerakannya bukan hanya anti-bid’ah dan ‘syirik
kubur,’ tetapi ‘syirik demokrasi dan undang-undang.’ Mereka menyerang demokrasi
dan memurtadkan pemimpin muslim yang berhenti memperjuangkan syariat Islam.
Jihad bagi mereka bukan hanya melawan agresor asing (kâfir harbî), tetapi juga
terhadap penguasa setempat (kâfir mahallî) yang murtad karena enggan menegakkan
hukum Islam. Seluruh doktrin salafi-jihadi—dalam semua variannya—bisa dilacak
bersumber dari IM Mesir yang kemudian pecah menjadi banyak faksi.
Di dalam kelompok salafi dan
salafi-jihadi banyak turunan dan pecahan, masing-masing bahkan saling
mengkafirkan. Kelompok salafi, misalnya, menyebut salafi-jihadi sebagai
reinkarnasi Khawarij. Namun, baik salafi maupun salafi jihadi, sama-sama
bernaung di bawah fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah mentor
intelektual dari seluruh aliran salafi. Paham salafi dan salafi-jihadi punya
panggung untuk mentransfer paham dan keyakinannya melalui pengajian tertutup
dan terbuka, bahkan diunggah ke media sosial untuk diikuti siapa saja.
Terkadang mereka bukan hanya menyerang ormas lain seperti NU yang jelas
berbeda, tetapi juga saling men-tahdzir di antara penganut salafi sendiri.
Pendekatan hukum mutlak tetapi tidak
cukup. Memburu dan menghukum pelaku teror wajib. Namun, sejarah mencatat,
teroris bisa dihukum mati tetapi tidak ajarannya.
Belajar dari kasus IM di Mesir, paham
radikalisme justru menjamur di sel-sel penjara. Bahkan Ba’asyir dan Aman
Abdurrahman bisa me-remote control aksi amaliah dari bilik jeruji. Pendekatan
sosial-budaya berbasis masyarakat sipil harus bergandeng dengan pendekatan
hukum-represif oleh negara. Dialog tetap penting untuk mengembangkan toleransi,
mengakui fakta kemajemukan tafsir atas Islam, dan menghargai perbedaan
pendapat. Institusi pendidikan juga berperan penting mencegah penyebaran
radikalisme. Caranya, antara lain, memasukkan wawasan kebangsaan dalam
kurikulum pendidikan agama Islam. Materi ini penting untuk meletakkan dasar
pemahaman bahwa umat Islam bukan hanya wajib menjadi muslim yang saleh, tetapi
juga warga negara yang baik, yang tulus mengakui kebhinekaan dan menghargai
perbedaan. NKRI berdasarkan Pancasila adalah common platform agar setiap orang
bisa menjadi warga negara yang baik sekaligus penganut agama yang taat.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Abou El Fadl, Khaled
(2007), The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York:
HarperCollins.
Ø
Algar, Hamid (2002),
Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY.: Islamic Publications International.
Ø
Al-Maqdisi, Abu
Muhammad Ashim (2000), Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah.
Ttp: Minbar al-Tauhîd wa al-Jihâd.
Ø
Al-Rasheed, Madawi
(2007), Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation.
Cambridge: Cambridge University Press.
Ø
As-Siba’i, Hani
(2002), Qisshat Jamâ’ah al-Jihâd. London: Markaz al-Maqrîzî li-d-Dirâsat
at-Târikhiyat.
Ø
Azzam, Abdullah
(1994), Fî Dzilâli Sûrat al-Tawbah. Peshawar: Markaz as-Syahîd Azzâm al-I’lâmi.
Ø
Barber, Benjamin
(1995), Jihad Vs. Mc World. New York and Canada: Times Books & Random
House.
Ø
Bonney, Richard (2004),
Jihad: From Qur’an to Bin Laden. New York: Palgrave Mc Millan.
Ø
Dijk, Cornelis van
(1981), Rebellion under the Banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia. The
Hague: M. Nijhoff.
Ø
Dreyfuss, Robert
(2007), Devil’s Game Orchestra Iblis: 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious
Extremist. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.
Ø
Hanafi, Hassan
(1989), Al-Dîn Wa Al-Tsaurah fi Misr 1952-1981; al-Juz’ al-Sâdis, Al-Ushûliyyah
al-Islâmiyyah. Cairo: Maktabah Madbûli.
Ø
Ibn Katsir,
Al-Hafidz (1988), Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Vol. XIV. Beirut: Maktabah
al-Ma’ârif.
Ø
Parlindungan,
Mangaradja Onggang (2007), Tuanku Rao. Yogyakarta: LKiS.
Ø
Solahudin (2011),
NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Ø
Syaifullah (1997),
Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ø
Tibi, Bassam (1998),
The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder.
Barkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Ø
Trofimov, Yaroslav
(2007), The Siege of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine
and the Birth of Al Qaeda. New York: Doubleday.
Link Anatomi Paham dan Gerakan
Radikalisme di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar