Nabi shalallahu alaihi wasallam hanya
melaksanakan ibadah haji 1x, sekaligus disebut haji wada'. Maka wukuf Arofah
yang dilakukan oleh Nabi juga hanya sekali. Tahun-tahun sebelum Nabi haji wada'
sudah diketahui oleh para Sahabat bahwa Nabi berpuasa pada 9 Dzulhijjah:
ﻋﻦ
ﺃﻡ اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻨﺖ اﻟﺤﺎﺭﺙ، ﺃﻥ ﻧﺎﺳﺎ اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻋﻨﺪﻫﺎ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ، ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﻟﻴﺲ ﺑﺼﺎﺋﻢ، «ﻓﺄﺭﺳﻠﺖ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﻘﺪﺡ ﻟﺒﻦ ﻭﻫﻮ ﻭاﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﻴﺮﻩ،
ﻓﺸﺮﺑﻪ»
Dari Ummu Fadl binti Harits Sahabat
berbeda pendapat disisi Ummu Fadl pada hari Arafah tentang puasa Nabi
shalallahu alaihi wasallam. Sebagian sahabat mengatakan berpuasa, sebagian lagi
mengatakan tidak. Lalu saya kirimkan segelas susu kepada Nabi saat beliau Wukuf
di atas untanya, lalu Nabi meminumnya" (HR Bukhari)
Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata:
اﺧﺘﻠﻒ
ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﺬا
ﻳﺸﻌﺮ ﺑﺄﻥ ﺻﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻣﻌﺘﺎﺩا ﻟﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﺤﻀﺮ
Para Sahabat Nabi shalallahu alaihi
wasallam berbeda pendapat dalam puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam. Ini
menunjukkan bahwa puasa Arofah sudah diketahui dikalangan Sahabat dan menjadi
kebiasaan mereka saat tidak bepergian (Fathul Bari 4/237)
Hadis ini, juga yang disampaikan oleh
Imam Ibnu Hajar, menunjukkan bahwa pada 9 Dzulhijah Nabi dan para Sahabat sudah
berpuasa di hari itu meskipun belum disyariatkan ibadah haji dan Wukuf di
Arofah.
Arofah Nama Tempat Atau Nama Hari?
Disamping 9 Dzulhijjah bertepatan dengan
hari Wukuf di Arofah, ternyata tanggal 9 Dzulhijjah juga disebut hari Arofah
berdasarkan kisah mimpi penyembelihan di masa Nabi Ibrahim:
ﺇﻥ
ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺭﺃﻯ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ ﻛﺄﻥ ﻗﺎﺋﻼ ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﻳﺄﻣﺮﻙ ﺑﺬﺑﺢ اﺑﻨﻚ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺻﺒﺢ ﺭﻭﻯ
ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻱ ﻓﻜﺮ ﺃﻫﺬا اﻟﺤﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﺃﻡ ﻣﻦ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ؟ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ. ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻠﻴﻠﺔ
اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺭﺃﻯ ﺫﻟﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻪ اﻟﻮﻋﺪ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺻﺒﺢ ﻋﺮﻑ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ.
ﺛﻢ ﺭﺃﻯ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻠﺔ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓﻬﻢ ﺑﻨﺤﺮﻩ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﻨﺤﺮ
Ibrahim bermimpi di malam Tarwiyah (8
Dzulhijjah) seolah ada yang berkata: "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu
untuk menyembelih anakmu". Di pagi harinya Nabi Ibrahim berfikir apakah
mimpi ini dari Allah atau dari syetan? Maka hari itu disebut Hari Tarwiyah.
Pada malam kedua Nabi Ibrahim bermimpi
seperti malam sebelumnya. Di pagi hari Nabi Ibrahim tahu (bahasa Arabnya
'Arofa) bahwa mimpi itu dari Allah. Maka hari itu disebut Hari Arofah. Pada
malam ketiga Nabi Ibrahim bermimpi lagi lalu beliau bertekad akan menyembelih
putranya pada hari Qurban [10 Dzulhijjah]" (Al-Qurthubi 5/102)
Sumber
Hukum Puasa Arafah di Hari Selasa
Di GWA sekolah, ada yang posting: “hati-hati yang mau puasa sunnah Arafah. Jangan sampai kita puasa Arafah hari selasa, karena besok sudah masuk ayyâmut tasyrîq. Hari ini jamaah haji sudah wukuf. Karena tekait dengan pelaksanaan ibadah haji, maka yang berwenang menetapkan kalender ibadah adalah pemerintah Arab Saudi.”
Di GWA sekolah, ada yang posting: “hati-hati yang mau puasa sunnah Arafah. Jangan sampai kita puasa Arafah hari selasa, karena besok sudah masuk ayyâmut tasyrîq. Hari ini jamaah haji sudah wukuf. Karena tekait dengan pelaksanaan ibadah haji, maka yang berwenang menetapkan kalender ibadah adalah pemerintah Arab Saudi.”
FYI, tahun ini, kalender RI dalam perhitungan
awal Dzul Hijjah memang berbeda dengan kalender kerajaan Arab Saudi. Akibatnya,
terjadi perbedaan dalam penentuan hari Raya Idul Adha.
Saya jawab, Nabi sendiri menoleransi perbedaan
kalender ibadah berdasarkan mathla’ (titik orbit). Bagi siapa di daerah tertentu
melihat hilal, maka berpuasa atau berbukalah. Sementara di daerah lain belum
terlihat hilal, maka berpuasa atau berbukalah, tergantung kondisinya.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi
bersabda:
عن
أبي هريرة، ذكر النبي صلى الله عليه وسلم فيه قال: «وفطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم
تضحون، وكل عرفة موقف، وكل منى منحر، وكل فجاج مكة منحر، وَكل جمع موقف» رواه ابو داود
“Iedul fitri kalian adalah hari kalian berbuka,
iedul adha kalian adalah hari kalian menyembelih hewan kurban, setiap jengkal
Arafah adalah tempat wukuf, setiap Mina adalah tempat penyembilan kurban,
setiap jalan lapang Mekkah adalah tempat penyembelihan kurban, setiap
Muzdalifah adalah tempat perhentian.” (HR Abu Dawud No. 2321). Hadis ini
dinilai sahih. Tirmidzi meriwayatkan dari jalur lain, tetapi dinilai gharib.
Di dalam Kitab عون المعبود شرح سنن ابي داود, Adhim Abadi menjelaskan
panjang lebar tentang maksud hadis ini. Ijtihad dalam penetapan kalender ibadah
dibolehkan, bahkan kalau kemudian terbukti salah. Jika, misalnya, hari ini tanggal
29 Ramadan, dan di sebuah negeri dengan upaya sungguh-sungguh gagal melihat
hilal, maka dia harus menyempurnakan bilangan puasa ke-30. Namun, jika di
tempat lain berhasil melihat hilal, dia wajib berbuka dan mengakhiri puasa.
Hukum dua jenis orang itu tidak saling
menegasikan. Orang pertama tidak bisa diadili dengan hukum orang B, begitu juga
sebaliknya. Tidak bisa orang A dianggap puasa di tanggal 1 Syawal yang haram
puasa, begitu juga orang B tidak bisa dianggap berbuka di tanggal 30 Ramadan yang
masih wajib puasa. Begitu juga dalam penetapan hari Arafah. Jika berdasarkan
perhitungan awal bulan Dzul Hijjah jatuh pada hari X dan tanggal 9 Dzil Hijjah
jatuh pada hari Y, maka pelaksanaan wukuf mengikuti kalender itu, begitu juga
hari raya kurban. Seandainya kemudian terbukti salah, wukufnya tetap sah,
ibadah hajinya sah, kurbannya sah. Begitu juga puasa sunnah arafah-nya sah bagi
yang tidak melaksanakan ibadah haji di tempat lain yang punya kalender berbeda.
Itulah maksud perkataan Nabi, “iedul fitri kalian adalah hari kalian berbuka,
iedul adha kurban kalian adalah hari kalian menyembelih hewan kurban…” (Lihat Syamsul Haq al-Adhim Abadi, 'Aunul
Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, Juz 4. Cairo: Darul Hadis, 2001, hal. 410-411).
Jadi, saudara, berdasarkan sidang itsbat Kementerian Agama, hari ini kita puasa sunnah Tarwiyah, besok puasa sunnah Arafah, dan hari Rabu baru menyembelih kurban. Bagi yang melaksanakannya, tidak usah ragu. Kita mengikuti Pemerintah yang kita bayar untuk memfasilitasi pelaksanaan ibadah kita. Sebagai orang Indonesia, kita tidak perlu mengikuti kalender Kerajaan Arab Saudi, karena masing-masing punya mathla’ sendiri-sendiri. Bagi orang Indonesia yang sedang ibadah haji di Tanah Arab, ikutlah waktu setempat, jangan ikut waktu Indonesia. Begitu juga yang sedang di Indonesia, ikutlah waktu setempat, tidak mengikuti waktu Arab. Jangan puasa di Indonesia tetapi mengikuti jadwal waktu buka Arab, begitu juga sebaliknya.
Setelah saya sampaikan argumen ini, teman saya
tetap ngotot dan kirim tulisan orang lain bahwa perkara ini bukan masalah fikih
saja, tetapi soal politik. Ini gara-gara sekat yang bernama nation-state yang
membuat kalender ibadah umat Islam tidak kompak... wekkss ternyata ujungnya Teh
Botol juga tho! Apa pun masalahnya, Khilafah solusinya. Ampun dah kalau sudah
begini.. Argumen apa pun tidak akan bisa dicerna oleh mereka.
Sumber
Idul Adha ikut Pemerintah Saudi Arabia
atau lokal?
Nadirsyah Hosen
Rupanya masih banyak yang
"bingung" dengan keputusan pemerintah Indonesia dalam menentukan 10
Zulhijjah atau Idul Adha. Siapa tahu catatan di bawah ini bisa sedikit membantu
menjelaskan.
1. Kenapa tidak ikut keputusan pemerintah
Saudi Arabia?
Di Indonesia, meskipun NU dan
Muhammadiyah berbeda dalam hisab-ru'yah namun mereka sepakat bahwa Idul idha
itu bersifat lokal. Untuk menentukan tgl 10 zulhijjah, maka harus tahu tanggal
1-nya. Dan tanggal 1 Zulhijjah itu bersifat lokal alias bisa berbeda-beda
tergantung posisi bulan di masing-masing negara (sesuai dengan hisab atau
ru'yahnya). Kalau terjadi perbedaan dalam menentukan tgl 1 Zulhijjah maka tgl
10-nya juga berbeda.
Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri,
berbeda-beda waktunya di berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan
antara wukuf tgl 9 di Arafah dengan Idul Adha tgl 10 di Saudi. Wukuf memang
berkaitan dengan hari arafah (dan tempatnya di Saudi Arabia) sedangkan Idul Adha
dilaksanakan tanggal 10 di seluruh dunia (tidak terikat pada pelaksanaan Idul
Adha di Saudi).
Berbeda dengan wukuf, Idul Adha itu
ibadah yang tidak terikat dengan tempat tertentu. Idul Adha tidak termasuk
dalam rangkaian ibadah haji. Dengan kata lain, iduladha itu TIDAK termasuk
bagian dari rukun dan wajib haji.
Ada kelompok lain (Dewan Dakwah
Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera, HizbutTahrir dan yang lainnya) memandang
bahwa Idul Adha itu bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi.
Menurut mereka, untuk tahu tgl 10, maka harus tahu tgl 9 Zulhijah. Nah, karena
9 Zulhijah itu hari Arafah, maka mereka mengikuti keputusan pemerintah Saudi
akan kapan hari arafah itu. Patokannya sederhana, satu hari setelah wukuf di
Arafah adalah Idul Adha.
Konsekuensinya, meskipun tgl 1 Zulhijah
di Australia, di Jerman dan di belahan lain berbeda dengan tgl 1 Zulhijjah di
Saudi (karena perbedaan posisi bulan di masing-masing negara itu), namun
tanggal 10 Zulhijahnya "tiba-tiba" jadi sama. Untuk lebaran haji ini
mereka tidak pakai hisab dan ru'yah, pokoknya ikut saja apa keputusan Saudi.
Akhirnya kalender mereka jadi
membingungkan: utk 11 bulan lainnya mereka ikut peredaran bulan di lokasi
masing-masing, tapi khusus bulan Zulhijjah mereka ikut kalender Saudi.
Boleh jadi di sebuah negara bulan
zulqaidah baru tgl 28, tapi karena memaksa diri ikut Saudi, keesokan harinya
lansgung lompat ke 1 Zulhijjah [padahal jumlah hari dlm 1 bulan harus minimum
29). Atau sebaliknya, boleh jadi ada negara yg menurut hisab atau ru'yah lokal
sudah masuk tgl 1 Zulhijah, tapi terpaksa mundur menjadi tgl 28 atau 29
Zulqaidah; atau mereka sudah masuk tgl 9 Zulhijah tapi "terpaksa"
mundur sehari jadi 8 Zulhijah. Ini semua dilakukan agar 10 Zulhijah
bisa sama dengan kalender Saudi. Tentu
saja ini semua bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan!
Kalau dibikin simulasi virtual jadi
"seru"....peredaran atau posisi bulan di wilayah Indonesia, misalnya,
tiba-tiba "lompat" karena harus sesuai dgkalendar Saudi.
Nah, jadi sekarang yang mana yang sesuai
dengan logika kita? Yang kalender dan peredaran bulannya di-adjust mengikuti
Saudi atau yang mengikuti peredaran bulan berdasarkan kalender lokal? The
choiceisyours🙂
2. Kapan puasa sunnatnya?
Nah, sekarang puasanya tgl berapa dong?
Ya jelas puasanya tetap tgl 9 Zulhijah. Ini berarti di tempat lain, 9 Zulhijah
itu bisa hari minggu, senin atau selasa, tergantung keputusan otoritas
masing-maisng wilayah menetapkan tgl 1 Zulhijah-nya. Jadi, titik kesamaannya
ada di sini: puasa sunnat itu tgl 9 Zulhijah.
Permasalahan baru muncul kalau
penanggalan ini kita konversi ke penanggalan biasa: hari senin atau selasa
puasanya? Tgl 20 atau tgl 21 Agustus 2018?
Sekali lagi, kita tidak berpuasa mengikuti penanggalan konversi tsb.
Kita berpuasa tgl 9 Zulhijah! Kalau di Saudi tgl 9 Zulhijah jatuh hari senin
(20 Agustus) dan di Indonesia jatuh hari selasa (21 Agustus) maka tidak ada
masalah selama kita berpuasanya tetap tgl 9 Zulhijah (baik menurut Saudi atau
menurut Indonesia).
Problem ini muncul karena kita masih
terjebak pada logika konversi tadi. Dengan kata lain, cara berpikir kita masih
merancukan antara penanggalan syamsiyah dan qamariyah. Maka seolah-olah kita
harus berpuasa tgl 20 atau 21 Agustus. Logika sederhana begini: tgl 1 Muharram
adalah tahun baru kita. Kita semua tahu ini. Nah, apakah tgl 1 Muharram itu
jatuh pada hari kamis atau rabu (tergantung lokasi masing-masing), tidaklah
menjadi persoalan selama kita memasuki tahun baru pada tgl 1 Muharram.
Ok clearyah?
3. Bukankah ada hadits Nabi yang menyuruh
kita berpegang pada keputusan Amir Mekkah?
Ada sebuah hadits dari Husain bin Al
Harits Al Jadalyra. yang menyatakan: "Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul)
Makkah berpidato dan menyatakan bahwa: `Rasulullah saw. memerintahkan kita agar
memulai manasik (haji) berdasarkan ru'yah. Jika kita tidak melihatnya sementara
ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka kita harus memulai
manasik dengan kesaksian dua orang itu'". (HR Abu Dawud).
Hadis di atas layak dibahas lebih lanjut.
Sunan Abi Dawud meriwayatkan hadis tsb
dalam bab "puasa", dan dalam sub-bab "kesaksian dua lelaki dalam
me-ru'yat hilal syawal". Ini saja sudah menimbulkan kerancuan. Kalau hadis
di atas dipahami dalam konteks ibadah haji, mengapa Imam Abu Dawud tidak meletakkan
hadis tsb dalam bab Haji?
Kontroversi muncul akibat kata n-s-k yang
dua kali disebut dalam matan hadis tsb (annansuka dan nasakna). Pengarang
'AunulMa'bud memahami kata tsb sebagai manasik haji, sedangkan ulama lain
(misalnya pengarang kitab Nailul Awthar) memahaminya sebagai ibadah, yaitu
puasa Ramadhan. Penjelasan 'AunulMa'bud memang membingungkan. Selain menganggap
hadis ini bicara manasik haji, kata ru'yat dalam matan ini --yang dipahami oleh
Imam Abu Dawud sebagai ru'yat hilal syawal-- digeser artinya sebagai ru'yat
hilal zilhijjah. Penjelasan spt ini ditolak oleh ulama lainnya.
Jadi, menurut sebagian ulama, hadis di
atas tidak bisa digunakan sebagai argumen untuk menaati keputusan Amir Mekkah
dalam hal Idul Adha. Hadis ttg bulan Ramadhan kok mau dijadikan justifikasi
untuk Idul Adha? Begitu kira-kira jalan pikirannya.
4. Apa pendapat ulama Saudi?
Mengenai puasa Arafah juga bersifat
"lokal", fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang
tercantum dalam MajmuFatawawaRosail Fadhilah alSyeikh Muhammad bin Sholih
alUtsaimin jilid 20 halaman 47-48. Syekh Utsaimin berpandangan iduladha
mengikuti keputusan pemerintah setempat, bukan mengikuti keputusan pemerintah
Saudi Arabia.
Nah, kalau ulama Saudi sendiri berfatwa
mendukung iduladha lokal dan puasa arafah lokal, maka mengapa kita masih ngotot
mau mengikuti Saudi. Lha wong Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin saja
nggak mau kita mengikuti Saudi heheheh
Jadi, keputusan Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, dan Pemerintah Indonesia untuk ber-iduladha hari Rabu, 22 Agustus
2018 itu sudah tepat dan sudah sesuai
dengan ketentuan ilmiah serta kaidah agama. Kalau masih ada yg berbeda
pandangan, ya kita saling menghormati saja. Yang penting bisa nyate bareng
hehehhe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar