Tulisan ini didasari kepada keprihatinan
terhadap selebaran liar yang berbunyi “Membela Nasionalisme tidak ada dalilnya,
sedangkan membela Khilafah jelas dalilnya”. Kita tak boleh bosan meluruskan
nalar yang kedengarannya indah namun sebenarnya sesat pikir. Sesat pikir itu
terjadi karena simplifikasi ala slogan “kembali kepada Al-Qur`an & Hadits
Shahih” yang sering diteriakkan oleh segolongan orang Islam. Mereka
teridentifikasi sebagai golongan penganut Wahabisme. Teriakannya melengking
kemana-mana, provokatif dan agitatif;
- “Jangan percaya Kiai!”
- “Jangan percaya Tuan Guru!”
- “Jangan percaya Habib!”
- “Kembalilah kepada Al-Qur`an & Hadits!”
- “Siapapun yang ngomong, asalkan yang
diomongkan adalah Al-Qur`an & Hadits, maka pasti benar!”
Golongan pengangut Wahabisme mengembangkan
“nalar sesat” seperti di atas untuk mengusung ide-ide aneh, yang kadang booming
di media sosial :
• Ide Pertama : Menolak tradisi sebagai
bagian dari implementasi ber-Islam. Lagi-lagi didasarkan bahwa Al-Qur`an dan
Hadits tidak pernah membahas tradisi, maka segala tradisi di-bid’ah-kan;
di-haram-kan, di-musyrik-kan. Pokok ide ini adalah : seluruh kegiatan orang
Islam yang tidak pernah diajarkan di Al-Qur`an dan Hadits secara tekstualis
maka itu dilarang agama.
• Ide Kedua : Menolak Madzhab. Kita
jangan silau oleh jargon menipu : Nabi Saw & Para Sahabat tidak pernah
mengajarkan bermadzhab. Pokok ide ini adalah : hanya Al-Qur`an dan Hadits-lah
segala referensi dalam beragama, dan bukan Imam Madzhab. Tetapi mereka ini
tidak menyadari bahwa gerakan Anti Madzhab itu ternyata membangun madzhab baru,
yaitu Madzhab anti Madzhab.
• Ide Ketiga : Mencita-citakan Khilafah
Islamiyah, dan yang menolaknya adalah Thoghût—terminologi dalam Al-Qur`an untuk
menyebut kaum yang durhaka kepada Allah Swt. Mereka hobby menyematkan kata
Thoghût kepada siapa saja di luar kelompoknya. Pokok ide ini adalah bahwa di
dunia ini ada 2 warna, yakni Iman & Thoghût. Kata Pancasila tidak pernah
disebutkan di Al-Qur`an dan Hadits maka hingga isi-isinya pun mereka sebut
Thoghût.
Slogan menolak tradisi dan mengharamkan
bermadzhab, dengan jargon “Kembali kepada Al-Qur`an dan Hadits”, memang bukan
barang baru dalam Islamic studies. Akan tetapi, “jurkam” jargon itu tidak
pernah konsekuan dan tidak pernah konsisten, sebab faktanya dalam mengutak-atik
agama mereka mengikuti : Ibnu Taimiyyah, lahir 661 H; atau Muhammad Abdul
Wahhab, ideolog gerakan Wahabi, 1115 H; Albani, lahir 1333 H; Abd Aziz bin
Abdullah Bin Baz lahir 1330 H; atau Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin lahir 1928
M.
***
Ada banyak model pertanyaan untuk menanya balik
slogan & pertanyaan-pertanyaan di atas :
- “Kalau kita sakit, pergi ke dokter atau
langsung membuka buku kesehatan?”
- “Jika kita naik bis, percaya dengan sopir
atau sok tahu dengan bermodal peta?”
- Apakah yang dilakukan dokter itu tidak sesuai
dengan buku kesehatan?
- Apakah sopir itu tidak mengerti jalan
sehingga harus ia tuntun dengan peta yang ia bawa?
- Apakah laku dan pikir Kiai, Tuan Guru serta
Habib tidak sesuai dengan Al-Qur`an & Hadits?
Mari kita ikuti pemikiran mereka dengan
mengajukan beberapa pertanyaan :
• “Di dunia ini, siapakah orang yang paling
memahami Al-Qur`an?”.
Jawabnya, tentu, adalah Nabi Muhammad Saw.
• Lalu, “Siapakah orang yang paling memahami
Nabi Muhammad Saw?”.
Jawabnya, tentulah para Sahabat beliau.
• Pertanyaan selanjutnya, “Siapakah orang yang
paling paham tentang Sahabat beliau?”.
Jawabnya, tidak lain dan tidak bukan, tentulah
Tâbi’în serta Tâbi’it Tâbi’în, demikian dan seterusnya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah
mereka” (HR. Bukhori Muslim). Atas sabda itu, Imam Nawawi dalam Syarh Muslim
menyatakan, “Yang benar bahwa masa Nabi Muhammad Saw adalah masa Sahabat, yang
kedua adalah Tâbi’în, yang ketiga adalah Tâbi’it Tâbi’în.
Berdasarkan sabda itu pula dapat dipahami bahwa
Nabi Muhammad Saw secara eksplisit mengajarkan kita untuk belajar Islam melalui
Sanadul ‘Ilmi atau genealogi keilmuan, dan bukan langsung kepada Al-Qur`an dan
Hadits. Yang lebih “celaka” lagi adalah belajar agama Islam melalui TERJEMAHAN
Al-Qur`an.
Dari logika dan tradisi genealogi intelektual
inilah ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mengaktualisasikan keislamannya,
yaitu melalui apa yang dalam Islamic studies disebut sebagai “madzhab” tadi.
Kolektor Hadits Shahih seperti Imam Bukhori dan Imam Muslim pun mengikuti jalan
ini. Nahdlatul Ulama juga mengambil jalan ini—bermadzhab Islam Ahlussunnah wal
Jamaah.
Kita memang tak boleh memutus silaturahmi,
tetapi kita harus tegas dan waspada jika di samping kita ada orang-orang
sebagai berikut :
Orang-orang yang mengaku berlandaskan
Al-Qur`an dan Hadits menolak tradisi (mulai tradisi 7 bulan, maulidan,
tahlilan, haul, dan tradisi lainnya), serta menyebutnya sebagai bid’ah; haram,
kegiatan musyrik. Mereka cari dalil "mitoni" (7 bulanan) di
Terjemahan Al Qur'an tapi tidak menemukan, lalu putus asa dan buat fatwa.
Orang-orang yang berkampanye “hanya Al-Qur`an
dan Hadits-lah segala referensi dalam beragama, dan bukan Imam Madzhab”. Mereka
sebenarnya ingin menjadi ulama, tetapi tidak punya kapasitas.
Orang-orang yang ber-“mimpi” tentang Khilafah
Islamiyah, tentang nalar rusak mereka yang berpikir bahwa NKRI & Pancasila
serta seluruh produknya adalah Thoghût. Kita persilakan mereka untuk bermimpi,
tetapi kita harus pastikan bahwa mimpi mereka tidak akan terwujud.
Intinya, hati-hati mendapati slogan indah yang
sekilas nampak Islami, tetapi sebenarnya misleading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar