Jalan menuju Alloh Ta’ala ada tiga, yaitu: syari’at, Thoriqot dan
Haqiqot.
1.
Syari’at
اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ اْلأَخْذُ وَاْلإِتِّـبَاعُ
لِدِيْنِ اللهِ تَعَالَى وَاْلإِمْتِثَالُ لِلْمَأْمُوْرَاتِ وَاْلإِجِتِنَابُ
عَنِ الْمَنْهِيَاتِ
“Syari’at adalah mengambil
(melaksanakan) dan mengikuti agama Alloh swt. Dengan menjalankan
perintah-perintahnya dan menjauhi semua larangan-larangan.”
2.
Thoriqot
اَلطَّرِيْقَةُ هِيَ اْلأَخْذُ بِاْلأَحْوَطِ
فِيْ سَآئِرِ اْلأَعْـمَالِ
“Thoriqoh adalah mengambil
(melaksanakan) agama dengan sangat waspada dan berhati-hati didalam semua amal
perbuatan.”
Diantara sikap sangat waspada dan
berhati-hati dalam menjalankan agama adalah sifat Waro’ dan ‘Azimah seperti
Riyadloh. (a).Waro,
menurut Imam Abul Qosim al-Qusyairi, waro’ adalah meninggalkan hal-hal yang
bersifat syubhat (sesuatu ysng belum jelas sifat kehalalannya). (b). ‘Azimah,
menurut bahasa adalah tujuan yang kuat, bersungguh-sungguh dan sabar atas
masalah yang berat menurut nafsu yang bertentangan dengan hawa nafsunya.
Contonhnya dengan Riyadloh, riyadloh adalah mendorong nafsu untuk dituntut
aklaq budi yang bagus, seperti terjaga diwaktu malam hari, mampu menahan lapar,
zuhud, jujur, ‘uzlah, meninggalkan barang yang diingini nafsu dan lain-lain
yaitu semua sifat dan prilaku yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh swt.
قَالَ الْحَسَنُ الْقَزَازِ: بُنِيَ هَذَا
اْلأَمْرُ عَلَى ثَلاَثَةِ أَشْيَآءَ, أَنْ لاَ تَـأْكُلَ إِلاَّ عِنْدَ
الْفَاقَةِ, وَلاَ تَـنَامَ إِلاَّ عِنْدَ الْغَلَبَةِ, وَلاَ تَتَكَلَّمَ إِلاَّ
عِنْدَ الضَّرُوْرَةِ.
Al-Hasan
Al-Qozaz berkata: “Perkara ini (riyadloh) dibangun atas tiga perkara:
1)
Janganlah
kamu makan kecuali saat kekurangan (sangat lapar).
2)
Janganlah
kamu tidur kecuali saat rasa kantuk mengalahkanmu.
3)
Janganlah
kamu berbicara kecuali saat terpaksa.”
3.
Haqiqot
اَلْحَقِيْقَةُ هِيَ وُصُوْلُ السَّالِكِ لِلْمَقْصُوْدِ
وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَـالَى وَمُشَاهَدَةُ نُوْرِ
التَّجَلِّىّ.
”Haqiqot adalah telah sampai bagi salik (orang yang berjalan menuju Alloh
Ta’ala) kepada yang dimaksud yaitu Ma’rifatulloh dan menyaksikan Nur Tajalli.”
Menurut Imam Ghozali: “Tajalli
adalah nur dari sesuatu yang ghoib yang dibukakan di dalam hati.”
Ulama Ahli
Tashowuf mengumpamakan syari’at laksana perahu, thoriqot laksana laut dan
haqiqot laksana mutiara yang bernilai tinggi. Syari’at diumpamakan laksana
perahu sebab syari’at itu merupakan sarana untuk keselamatan dari kerusakan
dala mencapai tujuan. Thoriqot diumpamakan seperti laut, sebab laut merupakan
tempat mutiara yang dimaksud. Haqiqot diumpamakan seperti mutiara yang mahal
dan bernilai tinggi, artinya mutiara itu tidak mungkin didapatkan kecuali
didalam laut. Orang tidak akan sampai ke tengah laut kecuali dengan menggunakan
perahu, maka untuk memperoleh mutiara yang mahal itu tidak mungkin, kecuali
dengan:
a.
Menggunakan
perahu
b.
Mencari
ke dala laut.
Begitu pula Haqiqot tidak akan diperoleh kecuali dengan
menggunakan:
a.
Syari’at
b.
Thoriqot.
Perumpamaan tersebut dikatakan oleh Syaikh Zainudin bin Ali
al-Ma’bari dalam kitabnya Hidayatul Adz-kiya’.
فَشَرِيْعَةٌ
كَسَفِيْـنَةِ وَطَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ ثُمَّ
حَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلاَ
Maka syari’at itu laksana perahu dan thoriqot laksana laut,
kemudian haqiqot laksana mutiara yang mahal.
Sedangkan
sebagian ‘Ulama’ ahli tashouf yang lain menupamakan syari’at, thoriqot dan
haqiqot seperti buah pala. Syari’at laksana kulitnya, thoriqot laksana isinya
dan haqiqot laksana minyaknya. Seseorang tidak akan memperoleh minyaknya
kecuali setelah memperoleh isinya, dan ia tidak dapat memperoleh isinya kecuali
setelah memecah kulitnya.
*KH. Moch. Djammaluddin Achmad, Jalan Menuju Alloh, Pustaka
Muhibbien Jombang, 2006.