Dalam kajian tentang Islam di Indonesia, sudah
sering kita mendengarkan kategorisasi atau tipologi dalam bentuk oposisi biner
antara modernisme Islam dan tradisionalisme Islam; antara golongan Muslim
modernis dan yang tradisionalis. Kelompok atau organisasi yang digolongkan
sebagai kaum modernis adalah Muhammadiyah atau Persatuan Islam (Persis)
sementara kaum tradisionalis adalah Nahdlatul Ulama. Dalam tipologi ini
biasanya kaum-
Muslim tradisionalis dipersepsikan sebagai golongan yang
berpikiran sempit dan kolot karena mereka hanya ingin mempertahankan tradisi
atau khazanah pemikiran Islam dari Abad Pertengahan yang sudah usang dan tidak
cocok lagi dengan zaman modern. Mereka hanya ingin bertaklid kepada
mazhab-mazhab yang didirikan oleh para Imam dari masa lalu. Kaum Muslim
tradisionalis juga dipandang secara negatif karena mereka dianggap telah
mencampur begitu saja antara ajaran Islam dengan sisa-sisa budaya lama di
Indonesia yang amat kental dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha atau bahkan
masih berbau animisme. Dalam pandangan ini, kaum Muslim modernis biasanya
dipersepsikan sebagai golongan yang ingin memperbarui Islam dari kejumudan dan
mengajak mereka untuk melepaskan diri dari belenggu taklid. Itulah sebabnya
mereka menekankan pentingnya ijtihad atau pemikiran mandiri tanpa terikat
kepada mazhab apapun. Mereka juga mengajak kaum Muslim untuk “kembali kepada
Qur’an dan Hadis” sebagai dua sumber utama dan otentik Islam, alih-alih
bertaklid kepada ulama atau Imam. Misi mereka yang lain tentu saja adalah
membersihkan atau “memurnikan” Islam dari praktik-praktik animistik atau yang
berbau Hindu-Buddha.
Kategorisasi ini tampaknya menarik dan juga
cukup sederhana. Namun seperti banyak cara pandang sederhana manapun,
kategorisasi ini menyimpan banyak masalah. Pertama mungkin, tipologi ini tidak
dapat dipisahkan dari paradigma yang cukup luas beredar dalam pemikiran sosial
di abad ke-20, teori modernisasi. Paradigma ini problematik karena visinya
tentang sejarah yang bersifat linear dan progresif, juga cenderung memandang
negatif tradisi atau masa lalu. Kedua, terdapat risiko bahwa tipologi
modern-tradisionalis ini tidak dapat melihat perbedaan dan ketegangan antara
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama misalnya, dengan objektif. Seperti yang dulu
pernah diingatkan oleh Marshall Hodgson, cara pandang ini tampaknya melihat
Islam hanya dari sudut pandang kaum modernis dan abai terhadap pendekatan yang
lebih tradisional. Praktik Islam tradisional pastilah jauh lebih kompleks dan
dinamis daripada kejumudan atau taklid yang selama ini selalu disematkan
kepadanya. Dalam tulisan sederhana ini, saya bermaksud menjelajah semesta
pemikiran keagamaan kaum Muslim tradisionalis seperti yang direpresentasikan
oleh Nahdlatul Ulama, organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia.
Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 dalam
konteks sejarah yang amat spesifik, yaitu kontroversi Khilafah yang berlangsung
setelah Mustafa Kemal Ataturk menghapus kekhalifahan pada tahun 1924. Pada saat
itu muncul gagasan untuk menghidupkan kembali kekhalifahan dan di Timur Tengah
muncul dua kandidat yang bersaing memperebutkan posisi ini, yaitu Khedive Mesir
dan Syarif Husain di Makkah. Keduanya berebut mendapatkan simpati kaum Muslim
dengan mengundang perwakilan umat Islam dari pelbagai negara untuk menghadiri
kongres khalifah yang bakal mereka adakan. Persoalan menjadi semakin rumit
karena di tahun berikutnya Syarif Husain kehilangan kekuasaannya di tangan ʻAbd
al-ʻAziz ibn Saʻud. Yang disebut terakhir ini merupakan penyokong kuat ajaran
Wahhabi yang didakwahkan oleh Muhammad ibn ʻAbd al-Wahhab seabad sebelumnya.
Gerakan Wahhabi terkenal karena sikap puritan dan intoleransinya terhadap
praktik-praktik yang mereka anggap bertentangan dengan Islam yang benar.
Kekalahan Syarif Husain merupakan pukulan telak
bagi kaum Muslim tradisional di Indonesia karena dalam waktu yang cukup lama,
dua kota suci Islam, Makkah dan Madinah, merupakan tempat mereka mempelajari
ajaran dan praktik Islam tradisional. Para ulama dan kiai terkemuka dalam
tradisi Islam tradisional seperti Nawawi al-Bantani dan Mahfuz Termas,
mendapatkan ilmu dan bahkan membina karier, di dua kota suci ini. Yang paling
mencemaskan mereka tentu saja adalah bahwa ʻAbd al-ʻAziz ibn Saʻud akan
bersikap tidak toleran terhadap praktik Islam tradisional di sana. Untuk
mencapai tujuan ini, para kiai mendirikan Komite Hijaz sebagai perwakilan kaum
Muslim tradisional yang mereka klaim telah bergabung dalam sebuah organisasi
yang mereka dirikan: Nahdlatul Ulama.
Konteks ini sangat penting untuk ditekankan. Ia
dapat menjelaskan alasan keberadaan Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi
keagamaan (jamʻiyyah diniyyah). Nahdlatul Ulama didirikan memang untuk menjaga
dan mempertahankan tradisi pemikiran Islam tradisional seperti yang dirintis
dan dikembangkan oleh para ulama di Abad Pertengahan. Dalam tradisi pemikiran
ini, tumbuh tradisi pengkajian ilmu-ilmu keagamaan (al-ʻulum al-diniyyah) yang
meliputi fiqh, kalam, dan tasawuf. Fiqh adalah ilmu tentang hukum Islam; kalam
adalah teologi Islam; sementara tasawuf adalah praktik spiritual Islam. Di
dalam masing-masing disiplin ilmu ini, muncul beragam penafsiran terhadap agama
oleh para Imam klasik yang dihormati hingga penafsiran mereka diangkat sebagai
opini (mazhab) yang otoritatif. Perhelatan pemikiran dalam masing-masing
disiplin ini tentu saja amat beragam dan dinamis. Namun pada akhirnya muncul
proses eliminasi di mana pemikiran-pemikiran yang cenderung ekstrem
ditinggalkan dan pada akhirnya konsensus mengerucut pada mazhab-mazhab yang
dipandang moderat dan otoritatif. Dalam fiqh misalnya, para Imam yang dihormati
antara lain Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafiʻi, dan Ahmad
ibn Hanbal yang kemudian menjadi pendiri mazhab fiqh yang dinisbatkan pada nama
mereka: Hanafi, Maliki, Syafiʻi, dan Hanbali.Dalam teologi, Abu-l-Hasan ʻAli
al-Asyʻari dan al-Maturidi dipandang sebagai teolog Muslim yang cenderung
moderat. Abu Hamid al-Ghazali biasanya dianggap memegang peran yang sama dalam
bidang tasawuf.
Para pengkaji ilmu-ilmu Islam di Abad
Pertengahan mengenal agama Islam dalam bingkai tradisi-tradisi atau
mazhab-mazhab pemikiran ini. Di sini, terdapat dua konsep yang menjaga dan
mengembangkan tradisi ini dalam batas-batas moderasi, yaitu taqlid dan ijtihad.
Dua konsep ini tidak dapat dipahami secara oposisional seperti yang dibayangkan
oleh kaum modernis, tapi harus dipahami sebagai dua konsep yang komplementer
atau saling melengkapi satu dengan yang lain. Seorang Muslim yang tidak
memiliki penguasaan mendalam terhadap sumber-sumber keagamaan Islam, Qur’an dan
Hadis, harus mempraktikkan taqlid atau mengikuti mazhab seorang Imam yang ia
percaya; ia tidak boleh berijtihad. Sebaliknya, seorang Muslim yang menguasai
secara mendalam ilmu-ilmu keislaman wajib melakukan ijtihad atau mengkaji
sendiri sumber-sumber keagamaan Islam tanpa bersandar pada seorang Imam pun. Di
tengah-tengah dua kategori masih ada spektrum lain bagi Muslim berpendidikan
yang ingin melakukan ijtihad, namun masih terikat dalam mazhab tertentu, yang
disebut ijtihad fi-l-mazhab, ijithad yang terbatas.
Praktik pemikiran ini sepintas lalu tampak kaku
dan konservatif. Namun demikian, praktik ini justru menyimpan potensi dinamika
dan progresivitas yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok Muslim yang
menyebut diri mereka modernis. Pertama, praktik ini mendorong sikap terbuka
terhadap pluralisme pemikiran dalam Islam karena dalam Islam tradisional
pemikiran Islam tidak pernah didorong untuk bersikap mutlak-mutlakan. Kaum
Muslim tradisional selalu didorong untuk menyadari kenyataan bahwa terdapat
banyak sekali penafsiran atau mazhab dalam Islam dan bahwa yang mereka cari
bukanlah versi Islam yang paling murni melainkan yang paling moderat dan bijak
di antara banyak tawaran yang lain. Dilihat dari sudut pandang Islam
tradisional, jargon kaum modernis untuk “kembali ke Qur’an dan Hadis” justru
berujung pada nonsens karena kita tidak akan pernah bisa kembali ke Qur’an dan
Hadis. Pada akhirnya setiap pemikiran keagamaan dalam Islam pasti berlandaskan
Qur’an dan Hadis; usaha apapun untuk meninggalkan suatu mazhab dan beralih ke
“sumber Islam yang sebenarnya” hanya akan berakhir menjadi pemutlakan terhadap
pendapat diri sendiri yang dipersepsikan sebagai “ajaran Islam yang
sebenarnya.”
Kedua, penghayatan Islam sebagai praktik mazhab
mendorong setiap Muslim tradisionalis untuk melihat fenomena keberagamaan
sebagai praktik individual atau komunal, tanpa kaitan sedikitpun dengan negara.
Praktik ini akan meminimalisasi respons-respons ideologis terhadap modernitas
seperti yang kita saksikan saat ini dalam gerakan-gerakan Islamis seperti
Ikhwan al-Muslimin, Jamaʻat-i Islami, Hizbut Tahrir, hingga Tanzhim
al-Qa’idah-nya Osama bin Laden itu. Gerakan-gerakan ini melihat modernitas
sebagai ancaman terhadap Islam dan ingin menghadirkan Islam sebagai ideologi
alternatif terhadap kapitalisme, komunisme dan isme-isme yang lain. Singkat
kata, mengubah Islam menjadi Islamisme. Sebaliknya, reaksi kaum tradisionalis
kuat berakar pada tradisi pemikiran Abad Pertengahan yang didominasi oleh fiqh
dan oleh karena itu tampak luwes dan pragmatis dalam berhadapan dengan
modernitas. Saya ingin mengambil contoh fatwa para ulama NU mengenai status
negara Hindia Belanda sebagai Dar al-Islam pada 1935, penerimaan NU terhadap
Pancasila sebagai asas tunggal, dan sikap para kiai kontemporer terhadap NKRI
yang dianggap sudah final dan tidak perlu diubah-ubah lagi sebagai bentuk
fleksibelitas dan pragmatisme para ulama tradisionalis dalam menyikapi
modernitas.
Penghargaan dan toleransi kaum Muslim
tradisionalis terhadap praktik-praktik lokal di Nusantara juga dapat dilihat
dalam perspektif ini. Toleransi terhadap budaya lokal ini tidak dapat dilihat
sebagai wujud kejumudan atau kebodohan kaum Muslim tradisionalis, tapi sebagai
wujud penerimaan terhadap pluralisme budaya dalam masyarakat Islam.
Praktik-praktik ibadah kaum Muslim boleh jadi relatif sama, namun pastilah
terdapat variasi lokal dalam praktik Islam di masing-masing negara Muslim.
Dalam perspektif fiqh, praktik Islam akan selalu berbeda bergantung pada
perbedaan temporal maupun lokal, yang kemudian dimapankan dalam kaidah fiqh:
Al-ʻadah muhakkamah. Meminjam ungkapan Gus Dur yang terkenal, “pribumisasi
Islam” ini malah membuat Islam semakin membumi dan dianut oleh mayoritas
penduduk Nusantara.Saya tidak dapat membayangkan seandainya Islam disebarkan
tidak dengan cara-cara demikian!
Penghargaan kaum Muslim tradisionalis terhadap
khazanah pemikiran klasik dari Abad Pertengahan juga tidak dapat dilihat
sebagai tendensi konservatif belaka. Tradisi ini justru mendorong kaum Muslim
untuk melihat praktik keagamaan Islam sebagai Tradisi Agung (“Great Tradition”)
yang menghimpun pelbagai elemen gerakan intelektual yang kaya teori dan
pengalaman. Pengalaman intelektual Islam selama lebih dari 10 abad yang tampak
dalam tradisi-tradisi pemikirannya yang kaya, dapat dilihat sebagai bekal untuk
menghadapi dan merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernitas.
Kita malah dapat melihat usaha kaum modernis atau puritan untuk kembali ke
praktik Islam yang asli dan murni seperti yang dipraktikkan oleh Nabi dan para
Sahabatnya dengan mengabaikan tradisi intelektual Muslim Abad Pertengahan yang
amat kaya itu sebagai kenaifan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar