Dzauq itu semacam cita rasa seni. Orang
Jawajelas beda dengan orang Arab. Budayanya saja tidak sama apalagi selera
bahasanya...jauh.
Dulu waktu mondok pernah bertanya pada pak kyai, kenapa syi’ir (puisi)
Arab kok tidak terasa seninya?
Kamu gak punya dzauq Arobi... Jawab Kyai
Seperti lidah yang terbiasa makan pecel tumpang
dipaksa menyantap nasi kebuli dengan kapulaganya. Ketelen sih, tapi dimana
nikmatnya.
Uniknya, kita umat Islam punya dua buku panduan
yang sama-sama berbahasa Arab: Al-Quran dan Hadits. Kalaupun membaca Arab bisa,
lalu bagaimana dengan menikmatinya?
Maka terbayanglah oleh kita, betapa sulitnya
Walisongo mengajarkan Islam ke penghuni Nusantara ini dahulu?
Ternyata rahasianya adalah para wali yang asli
Arab itu “terpaksa” mendalami Dzauq Jawi hingga melebur manunggal rasa. dan itu
perjuangan yang hebat.
Sebuah sikap ngalah yang akhirnya bisa
meng’Islamkan sebagian besar Nusantara hingga jadi Muslim terbesar dunia.
Bukti sejarah dari Kebesaran Jiwa para wali itu
terciptanya “makna ala pesantren” utawi iki iku
Terus terang sebagai santri jawa yang awam kami
baru bisa merasakan Dzauq Arabi Al-Quran setelah dibacakan kiai dengan makna
jawa yang aduhai..
Ada Jumlah Khobariyah yang diterjemahkan “utawi
iku” Menemukan Rujuk pada dhomir yang tersembunyi hingga melacak isyarat pada
Dzalika yang entah dimana...
Ini belum seberapa. Siapa pula yang menggubah
Sluku-sluku batok yang sarat filosofi hingga menjadi pesan abadi sepanjang
masa?
Wes ah....Ojo jeru-jeru marai lali guyu.. ora
apik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar