Logika lebih sering terkalahkan oleh watak. Seorang penakut tidak
akan berani tidur dirumah hanya berdua dengan mayat, padahal logika dia sudah
sangat yakin mayat tidak bisa berbuat apa apa.
Anda mungkin tidak akan doyan makan bubur warna kuning ketika
diingatkan pada kotoran (maaf, tinja). Bila dipaksa makan bisa muntah. Padahal
logika anda tahu betul itu bubur bukan kotoran manusia.
Salafi awam saat mendengar sebuah pernyataan yg dijelaskan dengan
bukti logis, akan manggut manggut menerima kebenaran penrnyataan tersebut.
Tetapi ketika anda memberitahukan bahwa pernyataan tadi bersumber dari
pemikiran Al Asyari, seketika dia akan menolak penyataan yg sudah terlanjur
diyakininya.
Sebaliknya aswaja AWAM ketika disampaikan kepadanya aqidah Ibn
Taimiyah atau tokoh wahabi, serta merta ia akan menolak.
Bahkan begini ini juga sangat sering ditemukan pada ustad ustad
intelek dari kedua kubu. Ketika Anda benar benar kalah dalil aqli maupun naqli,
Anda tetap tidak akan menerima begitu saja aqidah lawan. Anda berfikir ustad yg
lebih senior dari anda pasti mampu menjawab syubhat yg dilontarkan lawan anda.
Kalaupun tidak ada, anda berfantasi bahwa Al Asyari atau Al Ghazali
(radliyallah anhum) bila dihidupkan pasti bisa menjawab.
Sebenarnya "kebanyakan" yg sudah alim sudah tidak taqlid,
itu masih sama saja dengan awamers taqliders. Bedanya, awamer bertaqlid dalam
pokok keyakinan, sedangkan ustad ustadnya, taqlid dalam menyuguhkan dalil
pembenaran. Taqlid cara berkilah.
Satu lagi. Ketika ditawarkan kepada mas jomblo, gadis bernama
"Siti Markiyem" untuk dinikah, reflek ia akan mengelak. Dalam
benaknya Markiyem tergambar wanita kulit gelap dari keluarga miskin. Padahal
tidak ada larangan gadis cantik jelita anak konglomerat diberi nama Siti
Ndarminah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar