Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai
pandemi global. Pemerintahan beberapa negara, termasuk Indonesia, telah
menetapkan protokol kesehatan dlm upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Salah
satu cara yang dinilai paling efektif adalah phsycal distancing (jaga jarak
kontak fisik).
Kebijakan ini telah mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan,
termasuk kehidupan keagamaan. Karakteristik ajaran Islam yang elastis
memungkinkan terjadinya perubahan beberapa hukum agama dalam situasi terjadi
wabah covid-19.
الفتوى
تتغير بتغير الزمان والمكان والأحوال والعوائد
begitu kaidahnya. Fatwa terbaru para ulama, baik secara individu
maupun lembaga, telah dikeluarkan. Mulai dari terkait penyelenggaraan ibadah
seperti salat jamaah dan Jumat hingga pengurusan jenazah (tajhiz al-janazah).
Meski kebijakan phsycal distancing diterapkan, layanan publik
terkait hajat masyarakat tetap diberikan pemerintah. Salah satunya pelayanan
pencatatan nikah oleh KUA. Tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Biasanya dihadiri, paling tidak, oleh kedua mempelai, dua orang saksi dan wali,
serta kerabat keluarga. Dengan demikian, petugas pencatat rentan tertular wabah
Covid-19, sebab bersinggungan langsung dengan warga masyarakat. Di situ ada
kerumunan masa, meski terbatas. Bahkan, jabat tangan dlm prosesi ijab-kabul
antara mempelai laki2 dengan wali juga berpotensi menjadi media penyebaran
virus.
Pencatatan peristiwa nikah tidak bisa ditangguhkan. Tetapi,
keselamatan petugas pencatat nikah dan para pihak juga perlu diperhatikan.
Apakah dimungkinkan prosesi akad nikah dan pencatatannya dilakukan secara
online, melalui sambungan telepon atau aplikasi yang bisa menghadirkan para
pihak dalam satu majelis dalam jaringan (online), seperti Skype atau zoom dan
lainnya?
Fiqih klasik belum pernah membahasnya. Teknologi informasi dan
komunikasi saat itu blm secanggih sekarang. Di kalangan ulama fiqih kontemporer
terjadi perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan yang melarangnya.
Akademi Internasional Fiqih Islam (IIFA), sebuah lembaga fatwa di bawah OKI yg
berpusat di Jeddah, dlm sidang ke-6 thn 1410 H/1990 M, tentang transaksi/akad
menggunakan teknologi komunikasi modern, membolehkan akad dilakukan tidak dalam
satu majelis, di mana para pihak tdk saling melihat, selama komunikasi
dilakukan dengan tulisan, isyarat dan utusan. Ini berlaku juga untuk faksimile,
komputer dan lainnya. Akad tsbt dinilai telah memenuhi syarat ‘dilakukan dalam
satu majelis’ (Ittihad al-majlis).
Meski demikian, ulama fiqih IIFA tidak membolehkan untuk dilakukan
pada akad nikah. Menurutnya, syarat kesaksian tdk terpenuhi dengan baik. Dalam
fatwa tersebut dikatakan,
وباستحضار
ما تعرّض له الفقهاء بشأن إبرام العقود بالخطاب وبالكتابة وبالإشارة وبالرسول، وما
تقرر من أن التعاقد بين الحاضرين يشترط له اتحاد المجلس – عدا الوصيـة والإيصاء
والوكالة – وتطابق الإيجاب والقبول، وعدم صدور ما يدل على إعراض أحد العاقدين عن
التعاقد، والموالاة بين الإيجاب والقبول بحسب العرف.
قرر
ما يلي:
أولاً:
إذا تم التعاقد بين غائبين لا يجمعهما مكان واحد، ولا يرى أحدهما الآخر معاينة،
ولا يسمع كلامه، وكانت وسيلة الاتصال بينهما الكتابة أو الرسالة أو السفارة (
الرسول )، و ينطبق ذلك على البرق والتلكس والفاكس وشاشات الحاسب الآلي (الحاسوب)،
ففي هذه الحالة ينعقد العقد عند وصول الإيجاب إلى الموجَّه إليه وقبوله.
ثانياً:
إذا تم التعاقد بين طرفين في وقت واحد وهما في مكانين متباعدين، وينطبق هذا على
الهاتف واللاسلكي، فإن التعاقد بينهما يعتبر تعاقداً بين حاضرين، وتطبق على هذه
الحالة الأحكام الأصلية المقررة لدى الفقهاء المشار إليها في الديباجة.
ثالثاً:
إذا أصدر العارض، بهذه الوسائل، إيجاباً محدّد المدة يكون ملزماً بالبقاء على
إيجابه خلال تلك المدة، وليس له الرجوع عنه.
رابعاً:
إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه، ولا الصرف لاشتراط
التقابض، ولا السلم لاشتراط تعجيل رأس المال.
Alasan ini boleh jadi bisa diterima 30 thn yang lalu. Tetapi kini,
dengan semakin canggihnya teknologi, kesaksian itu mudah sekali dipastikan.
Apalagi bila para pihak (kedua mempelai, wali dan saksi) telah saling mengenal.
Suara dan gambar tampak jelas. Bahkan, tanpa jeda waktu dlm mengucapkan
ijab-kabul.
Dlm fiqih klasik ada jenis akad yg hampir mirip, seperti dijelaskan
Imam al-Nawawi, yaitu akad jual beli antara dua orang yg berada di kejauhan
tetapi saling mendengar suara meski tidak melihatnya. Dlm kitab al-Majmu
(9/181) dikatakan, “jika keduanya saling berteriak dari kejauhan dlm akad jual
beli maka sah hukumnya”.
لو
تناديا وهما متباعدان وتبايَعا، صحَّ البيع بلا خلاف
Saat ini, tidak perlu ‘berteriak’ dlm akad, meski berjauhan.
Teknologi komunikasi mendekatkan dan menyatukan yg berjauhan dalam satu
majelis.
Dari sini, ulama sekaliber Musthafa Zarqa, Yusuf al-Qaradhawi,
pendiri dan pemimpin tertinggi Persatuan Ulama Dunia Islam, dan Wahbah
al-Zuhaili, membolehkan akad nikah dilakukan melalui sambungan telepon atau
video call, atau lainnya, selama bisa dipastikan tidak ada penipuan/pemalsuan
(melalui gambar atau suara), para pihak disatukan dalam satu majlis meski
berjauhan secara fisik, sehingga shighat ijab-kabul didengar dengan baik dan
para saksi mendengar dan melihat peristiwa akad antara wali dan calon suami.
Meski dibolehkan, kehati-hatian tetap diperlukan. Kebolehan ini tidak
bisa diberlakukan seluas-luasnya. Al-dharuuratu tuqaddaru biqadriha. Hanya
diperkenankan dalam situasi yang tidak memungkinkan para pihak untuk bertemu
dalam satu majelis. Penyebaran wabah Covid-19 dan kebijakan phsycal distancing
dalam pencegahan bisa dipertimbangkan menjadi alasan untuk tidak melakukan akad
nikah dlm satu majelis secara fisik. Bisa digantikan secara digital atau
elektronik, sehingga bisa disebut e-nikah. Pencatat nikah berada di kantor,
calon suami, wali dan para saksi berada di rumah masing-masing. Allah
menghendaki kemudahan dlm beragama (QS. Al-Baqarah/2: 185), dan tidak ingin
hamba-Nya membiarkan diri terjerumus dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah/2: 195).
Simpel bukan? Selamat mencoba.
Demikian,
wallahua’lam.Sumber: Muchlis Hanafi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar