Maulid Nabi Muhammad Saw boleh diadakan
tidak hanya bulan Robi'ul Awal tapi boleh juga Maulid di laksanakan di bulan
Robi'ul Akhir dan bulan-bulan lainnya. Karena ini termasuk memulyakan kelahiran
Nabi kita semua.
lihat ta'bir dari kitab Kanzunnajah halaman
38 :
فصاروا
يقرءونها في الدور والبيوت في أي يوم كان من شهر ربيع الأول؛ بل في أي يوم من
العام، ويتبرّكون بذلك الاحتفال الموقر حُبًّا بمن ينسب إليه، ويعتمدون في الشفاعة
عليه صلى الله تعالى عليه وعلى آله وصحبه وسلم، وشرّف وكرّم ومَجّد وعظم.
dan Al Hawi lil Fataawi 1/188 :
وعلى هذا
فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ، ومن لم يلاحظ
ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر ، بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من
السنة وفيه ما فيه
***
Tadi, 8 Desember 2018, PBNU memperingati
Maulid Nabi di Masjid Istiqlal meskipun bulan maulid sudah berakhir dalam satu
versi kalender hijriah dan masih di hari terakhir Rabi’ul Awwal di kalender
lain. Banyak sekali praktek peringatan maulid "tak tepat waktu"
seperti ini di nusantara. Ini semua adalah bukti bahwa Peringatan Maulid
bukanlah ibadah baru seperti yang dituduhkan atau lebih tepatnya dipaksakan
oleh pihak-pihak anti-Maulid. Dalam benak pelaku peringatan maulid sendiri,
peringatan ini tak lebih dari sekedar momen untuk berkumpul, ngaji, baca
shalawat, berbagi makanan dan tentu saja momen besar untuk bersama mengingat
Rasulullah.
Andai peringatan ini dianggap ibadah khusus
dengan waktu khusus yang dibuat-buat untuk menyerupai syariat (baca: bid'ah),
tentu akan banyak ulama pro-maulid akan berteriak bahwa "ibadah"
maulid di luar bulan maulid ini tidak sah. Bahkan di tanggal selain 12 Rabi’ul
Awwal saja akan dianggap tak sah. Tapi mengapa tak ada dan takkan pernah ada
yang mengatakan demikian? Sebab semua pelakunya sadar bahwa ini bukan syariat
baru, bukan ibadah baru, bukan ritual yang dibuat-buat menyerupai syariat yang
ada, tapi sekedar tradisi biasa yang waktunya bebas, caranya bebas, kontennya
bebas dan semuanya bebas dengan catatan tidak melanggar aturan syariat yang
ada.
Tradisi semacam ini tak perlu dalil satu pun, sebab
tradisi masuk dalam bab ibahah (boleh), kecuali ada faktor yang menyebabkannya
berubah menjadi haram. Lalu mengapa banyak ulama yang mengeluarkan dalil maulid bila memang
tak perlu dalil?
Jawabannya: Sebab tak sedikit anti-Maulid yang berpikiran sekeras batu,
mulai orang alim
yang tergelincir dalam salah hingga orang awam yang berlagak mujtahid. Teori-teori "pseudo
ilmiah" yang ujungnya mengharamkan peringatan maulid itulah yang perlu dilawan dengan dalil
sehingga tampak ketidak-ilmiahannya.
Andai Maulid Nabi memang bid'ah, tentu ulama 4 mazhab
seluruhnya, yang terdiri dari para hafidz, para fuqaha' dan para ushuliyun, akan
melarangnya seperti mereka
bergegas melarang berbagai bid'ah di awal kemunculannya sebab para ulama
4 mazhab itu
lebih besar ghirahnya pada nahi mungkar daripada orang sekarang. Kenyataannya hanya segelintir
tokoh "belakangan" yang melarang, mereka ini yang tergelincir
dalam salah itu tadi. Wajar saja bila fakta ini membuat Syaikh Abdullah bin Bayyah
berfatwa bahwa kebolehan maulid adalah ijmak ulama.
Semoga Allah merahmati semuanya. Yang benar di antara
ulama mendapat dua pahala, yang salah mendapat satu pahala. Adapun yang awam protes tanpa ilmu
tak dapat apa-apa kecuali
daging beracun para ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar