Mungkin ada baiknya jika yang mengaku pembela
Islam dan gemar kofar kafir mondok dulu. Belajar ilmu agama, tentang bagaimana
ulama berpendapat dan mengapa ulama berbeda pendapat. Agar tahu mana pendapat
mayoritas, dan mana pendapat minoritas.
Mudah menyesatkan dan kegemaran
mengkafir-kafirkan, salah satu sebabnya karena minimnya pemahaman agama,
keterbatasan referensi, dan pembanding (moqarin).
Memang betul, kebenaran agama itu mutlak,
tetapi pemahaman manusia terhadap agama bisa berbeda-beda. Itu mengapa kemudian
satu kitab suci, Al-Qur'an sangat mungkin menghasilkan beribu-ribu tafsir.
Perbedaan metodologi dan pendekatan ulama dalam
memahami Al-Qur'an melahirkan berbagai jenis dan corak tafsir yang beragam.
Penerimaan terhadap hadits dan kriteria seleksinya turun menyumbang perbedaan
pendapat dalam satu masalah hukum.
Dalam fiqh kemudian dibedakan dengan
istilah-istilah yang khas menurut kekuatan dan kualitas pendapat tersebut. Di
kalangan Syafi'iyah saja dikenal istilah al-adzhar (الأظهر), al-dzahir (الظاهر), al-mu’tamad (المعتمد), al-masyhur (المشهور), al-ashah (الأصح), ash-shahih (الصحيح), dhaif (ضعيف), ada qoul, qiil, dan di antara itu ada
yang rojih ada yang tidak.
Tetapi yang jelas perbedaan di kalangan ulama
tersebut tidak sampai pada batas penyesatan, apalagi pengkafiran. Inilah salah
satu idikasi kenapa seorang ulama semakin tinggi ilmunya ('allamah), semakin
toleran pula (tasamuh).
Jadi, bicara agama itu sangat luas, tidak hitam
putih. Bukan hanya soal kofar kafir, sesat menyesatkan. Tidak cukup kita bela
Islam hanya dengan mengkonsumsi materi-materi agama instan yg disajikan
ustadz-ustadz anyar bermodal jenggot dan jidat hitam. Apalagi hanya berguru
pada Prof. DR. Google. Selain tidak bergizi, pengetahuan yang didapat justru
menyebabkan hipertensi dan strouk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar