Kiai Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal
bin Mahfudh bin Abdus Salam. Beliau lahir di desa Kajen, kecamatan
Margoyoso, Kabupaten Pati, pada tanggal 17 Desember 1937. Tanggal
tersebut sebagaimana yang tertera dalam dokumen resmi seperti Kartu
Tanda Penduduk dsb. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik
ayahandanya yang menerakan tanggal lahir kiai Sahal yang sebenarnya
bukanlah tanggal 17 Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M.
Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang baru
diketemukan kurang lebih dua tahun sebelum kiai Sahal Wafat.
Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting terutama bagi para
peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan kiai Sahal
berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal maupun usia. Perbedaan
data mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan
keterangan yang menyatakan bahwa kiai Sahal ditinggal wafat oleh
ayahandanya pada usia 7 tahun, jika merujuk tanggal lahir kiai Sahal
adalah tanggal 17 Desember 1937. Namun, kiai Sahal sendiri mengaku bahwa
beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya ketika berusia 11 tahun, dan
ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau adalah 16 Februari
1933.
Perbedaan tanggal lahir ini juga kemudian berdampak pada
pernyataan yang tidak sama mengenai pada usia berapa kiai Sahal Wafat.
Jika merujuk pada tanggal yang pertama, 17 Desember 1937, maka kiai
Sahal wafat pada usia 77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal
lahir yang kedua, 16 Pebruari 1933, maka kiai Sahal wafat pada usia 81
tahun.
Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah
lepas dari kehidupan pesantren. Beliau lahir dari Ibundanya, nyai
Badi’ah dan ayahandanya, kiai Mahfudh bin Abdus Salam. Jika dirunut
lebih jauh, keluarga ini mempunyai jalur nasab sampai kepada KH Ahmad
Mutamakkin yang juga diyakini sebagai seorang waliyulloh yang
menyebarkan agama Islam di wilayah Kajen dan sekitarnya. Hingga kini,
jejak perjuangan KH. Ahmad Mutamakkin masih dapat ditelusuri. KH. Ahmad
Mutamakkin wafat dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati. Pati
adalah kota kecil di wilayah Jawa Tengah. Letak geografisnya yang
menjorok ke utara dan tidak dilewati oleh jalur utama antar-propinsi
menyebabkan transportasi menuju kota ini tidak mudah dilalui. Desa
kajen, tempat kiai Sahal lahir dan berdomisili adalah desa yang masih
berjarak kurang lebih 22 km dari pusat kota kabupaten. Namun meski
demikian, kondisi ini bukan halangan bagi orang-orang dari berbagai
penjuru daerah untuk mendatangi Kota kecil pati, dengan Kajen sebagai
salah satu tujuan utamanya.
Sahal muda menyelesaikan
pendidikannya di Perguruan Islam Matali’ul Falah pada tahun 1953.
Selepas dari Mathali’ul Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di
sebuah pesantren di desa Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun
1957. Setelah dari Kediri, kiai Sahal memutuskan untuk memperdalam Ushul
Fiqh dengan mengaji secara langsung kepada kiai Zubair di pesantren
Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960. Selama di Sarang inilah
kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat-menyurat dengan ulana
kharismatik asal Padang yang berdomisil di Makkah al Mukarromah.
Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan
menunaikan ibadah haji, kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung
kepada Syeikh Yasin al Fadani di Makkah untuk pertama kalinya.
Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada syeikh Yasin al Fadani
datang untuk kedua kalinya ketika kiai Sahal menunaikan ibadah haji
untuk kedua kalinya bersama istri tercinta, nyai Nafisah Sahal.
Kesempatan kedua ini merupakan saat dimana kiai Sahal dan nyai Nafisah
Sahal banyak menerima ijazah secara langsung dari syekh Yasin.
Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun
disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal
bukan saja menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren
seperti Bahasa Arab, Tafsir, Fiqh, Hadis, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Mantiq,
Balaghah dan lain-lain. Namun, lebih dari itu, kiai Sahal merupakan
ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota dan para
akademisi. Hal ini dikarenakan selain tinggak kecerdasan di atas
rata-rata yang dimilikinya, kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak
pernah lelah belajar. Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari
hal-hal baru yang dirasa bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di
sekitarnya. Semangat belajar ini ditunjukkan beliau sejak usia muda
yakni dengan berusaha mempelajari bahasa Inggris, bahasa Belanda, tata
negara, administrasi dan filsafat melalui kursus privat, baik di Kajen,
Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.
Kiai Sahal memiliki
aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul Huda
dan Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah, beliau juga memimpin
beberapa organisasi. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi
tertinggi dalam organisasi Nahdlatul Ulama, kiai Sahal telah aktif dalam
organisasi tersebut semenjak dari level terbawah. Tercatat kiai Sahal
pernah menjabat Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati sejak tahun
1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga
tercatat pernah menjadi ketua Robithoh Ma’ahid Jawa Tengah dan ketua MUI
Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga kiai Sahal
dipercaya sebagai Wakil Rois ‘Am hingga akhirnya Rois ‘Am Nahdlatul
Ulama selama tiga kali periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di
Lirboyo pada tahun (1999), kemudian muktamar NU di Solo pada tahun
(2004) dan muktamar NU di Makassar (2010). Selain sebagai Rais ‘Am
Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia. Bahkan ketika wafat, kiai Sahal masih dalam masa
menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.
Selain
aktif di tinggal nasional, Kiai Sahal juga melakukan gerakan nyata di
level lokal. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai lembaga pendidikan,
ekonomi dan kesehatan yang diinisiasi oleh kiai Sahal. Namun, meski
demikian, kiai Sahal tidak otomatis duduk dalam struktur semua lembaga
yang diinisiasinya. Seperti dalam dua bank (BPR Artha Huda Abadi dan
BPRS Artha Mas Abadi), kiai Sahal sejak awal pendiriannya tidak duduk
dalam struktur kepengurusan bank yang didirikannya itu, serta tidak
memiliki saham di dalamnya. Namun beliau secara aktif mensupport lembaga
ekonomi tersebut secara kultural dan bersifat konsultatif.
Selain sebagai Rois ‘Am Nahdlatul Ulama dan Ketua Majelis Ulama
Indonesia, kiai Sahal juga tercatat sebagai pengasuh Pesantren Maslakul
Huda, Kajen, Ketua Dewan Syariah Nasional, Anggota Dewan Penyantun
Universitas Diponegoro, Semarang, Dewan Pembina Yayasan Kesejahteraan
Fatayat yang menaungi Rumah Sakit Islam Pati dan Panti Asuhan Darul
Hadlonah. Dewan Pembina Yayasan Nurussalam yang menaungi Perguruan Islam
Mathali’ul Falah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Pati, Rektor INISNU
(kini UNISNU) serta masih banyak lagi yang tidak disebutkan dalam
tulisan ini.
Meski berat secara fisik, kiai Sahal tetap memilih
memimpin organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indonesia itu
tanpa berpindah domisili di ibukota. Karena rasa sayangnya terhadap
santri dan pesantren, kiai Sahal memilih tetap tinggal di Kajen, di
tengah-tengah santri yang menjadi nadi dan semangat hidupnya untuk terus
melakukan pengabdian kepada masyarakat demi kemaslahatan umat. Berbagai
penghargaan secara nasional dan internasional telah disematkan kepada
kiai Sahal. Dari pesantren kiai Sahal membuktikan bahwa berkiprah secara
sosial merupakan sebentuk ibadah yang wajib dilakukan oleh manusia
untuk menjalankan fungsi kemanusiannya.
Kiai Sahal Mahfudh wafat
pada hari jumat, tanggal 24 Januari 2014, pukul 01.00 dini hari.
Terbilang sejak tahun 2008 sebenarnya beliau mengalami penurunan kondisi
kesehatan, namun semangat beliau untuk terus mengabdi untuk masyarakat
membuat beliau terus berusaha memenuhi keinginan umat yang mengharapkan
beliau memimpin Nahdlatul Ulama.
Demikian pula saat-saat terakhir
hidupnya, setelah enambelas hari di rawat di rumah sakit, beliau
memaksa untuk pulang dan meminta untuk di rawat di kediaman beliau.
Demikianlah, meski tetap berada dalam pengawasan dokter dan tenaga medis
lainnya, kiai Sahal memilih menghabiskan seminggu terakhir hidupnya di
antara keluarga dan para santri yang dicintainya. Berdasarkan wasiat
yang ditinggalkannya, kiai Sahal akhirnya dimakamkan di komplek
pemakaman KH Ahmad Mutammakin, berdekatan dengan makam ibundanya, nyai
Badi’iyyah. Di tempat beliau dimakamkan kini itulah selama hidupnya,
kiai Sahal secara istiqomah duduk bersimpuh berlantunkan tahlil pada
jumat ba’da shubuh.
Oleh: Tutik N. Jannah, Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Pati Jawa Tengah/ Muslimedianews.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar