Senin, 20 Agustus 2018

Puasa Arofah Harus Sesuai Dengan Hari Wukuf Di Arofah?

Nabi shalallahu alaihi wasallam hanya melaksanakan ibadah haji 1x, sekaligus disebut haji wada'. Maka wukuf Arofah yang dilakukan oleh Nabi juga hanya sekali. Tahun-tahun sebelum Nabi haji wada' sudah diketahui oleh para Sahabat bahwa Nabi berpuasa pada 9 Dzulhijjah:
ﻋﻦ ﺃﻡ اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻨﺖ اﻟﺤﺎﺭﺙ، ﺃﻥ ﻧﺎﺳﺎ اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻋﻨﺪﻫﺎ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ، ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ: ﻟﻴﺲ ﺑﺼﺎﺋﻢ، «ﻓﺄﺭﺳﻠﺖ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﻘﺪﺡ ﻟﺒﻦ ﻭﻫﻮ ﻭاﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﻴﺮﻩ، ﻓﺸﺮﺑﻪ»
Dari Ummu Fadl binti Harits Sahabat berbeda pendapat disisi Ummu Fadl pada hari Arafah tentang puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam. Sebagian sahabat mengatakan berpuasa, sebagian lagi mengatakan tidak. Lalu saya kirimkan segelas susu kepada Nabi saat beliau Wukuf di atas untanya, lalu Nabi meminumnya" (HR Bukhari)
Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
اﺧﺘﻠﻒ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﺬا ﻳﺸﻌﺮ ﺑﺄﻥ ﺻﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻣﻌﺘﺎﺩا ﻟﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﺤﻀﺮ
Para Sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam berbeda pendapat dalam puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah sudah diketahui dikalangan Sahabat dan menjadi kebiasaan mereka saat tidak bepergian (Fathul Bari 4/237)
Hadis ini, juga yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar, menunjukkan bahwa pada 9 Dzulhijah Nabi dan para Sahabat sudah berpuasa di hari itu meskipun belum disyariatkan ibadah haji dan Wukuf di Arofah.

Arofah Nama Tempat Atau Nama Hari?
Disamping 9 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Wukuf di Arofah, ternyata tanggal 9 Dzulhijjah juga disebut hari Arofah berdasarkan kisah mimpi penyembelihan di masa Nabi Ibrahim:
ﺇﻥ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺭﺃﻯ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ ﻛﺄﻥ ﻗﺎﺋﻼ ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﻳﺄﻣﺮﻙ ﺑﺬﺑﺢ اﺑﻨﻚ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺻﺒﺢ ﺭﻭﻯ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻱ ﻓﻜﺮ ﺃﻫﺬا اﻟﺤﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﺃﻡ ﻣﻦ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ؟ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ. ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻠﻴﻠﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺭﺃﻯ ﺫﻟﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻪ اﻟﻮﻋﺪ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺻﺒﺢ ﻋﺮﻑ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ. ﺛﻢ ﺭﺃﻯ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻠﺔ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓﻬﻢ ﺑﻨﺤﺮﻩ ﻓﺴﻤﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﻨﺤﺮ
Ibrahim bermimpi di malam Tarwiyah (8 Dzulhijjah) seolah ada yang berkata: "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menyembelih anakmu". Di pagi harinya Nabi Ibrahim berfikir apakah mimpi ini dari Allah atau dari syetan? Maka hari itu disebut Hari Tarwiyah.
Pada malam kedua Nabi Ibrahim bermimpi seperti malam sebelumnya. Di pagi hari Nabi Ibrahim tahu (bahasa Arabnya 'Arofa) bahwa mimpi itu dari Allah. Maka hari itu disebut Hari Arofah. Pada malam ketiga Nabi Ibrahim bermimpi lagi lalu beliau bertekad akan menyembelih putranya pada hari Qurban [10 Dzulhijjah]" (Al-Qurthubi 5/102)

Kesimpulan, berpuasa 9 Dzulhijjah tidak harus bertepatan dengan hari Wukuf di Arofah. Sebab 9 Dzulhijjah juga disebut sebagai nama Arofah sejak masa Nabi Ibrahim. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sudah melakukan puasa 9 Dzulhijjah jauh sebelum dilaksanakan Wukuf di Arofah.

Sumber 



Hukum Puasa Arafah di Hari Selasa 

Di GWA sekolah, ada yang posting: “hati-hati yang mau puasa sunnah Arafah. Jangan sampai kita puasa Arafah hari selasa, karena besok sudah masuk ayyâmut tasyrîq. Hari ini jamaah haji sudah wukuf. Karena tekait dengan pelaksanaan ibadah haji, maka yang berwenang menetapkan kalender ibadah adalah pemerintah Arab Saudi.”

FYI, tahun ini, kalender RI dalam perhitungan awal Dzul Hijjah memang berbeda dengan kalender kerajaan Arab Saudi. Akibatnya, terjadi perbedaan dalam penentuan hari Raya Idul Adha.
Saya jawab, Nabi sendiri menoleransi perbedaan kalender ibadah berdasarkan mathla’ (titik orbit). Bagi siapa di daerah tertentu melihat hilal, maka berpuasa atau berbukalah. Sementara di daerah lain belum terlihat hilal, maka berpuasa atau berbukalah, tergantung kondisinya.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda:
عن أبي هريرة، ذكر النبي صلى الله عليه وسلم فيه قال: «وفطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم تضحون، وكل عرفة موقف، وكل منى منحر، وكل فجاج مكة منحر، وَكل جمع موقف»  رواه ابو داود
“Iedul fitri kalian adalah hari kalian berbuka, iedul adha kalian adalah hari kalian menyembelih hewan kurban, setiap jengkal Arafah adalah tempat wukuf, setiap Mina adalah tempat penyembilan kurban, setiap jalan lapang Mekkah adalah tempat penyembelihan kurban, setiap Muzdalifah adalah tempat perhentian.” (HR Abu Dawud No. 2321). Hadis ini dinilai sahih. Tirmidzi meriwayatkan dari jalur lain, tetapi dinilai gharib.
Di dalam Kitab عون المعبود شرح سنن ابي داود, Adhim Abadi menjelaskan panjang lebar tentang maksud hadis ini. Ijtihad dalam penetapan kalender ibadah dibolehkan, bahkan kalau kemudian terbukti salah. Jika, misalnya, hari ini tanggal 29 Ramadan, dan di sebuah negeri dengan upaya sungguh-sungguh gagal melihat hilal, maka dia harus menyempurnakan bilangan puasa ke-30. Namun, jika di tempat lain berhasil melihat hilal, dia wajib berbuka dan mengakhiri puasa.
Hukum dua jenis orang itu tidak saling menegasikan. Orang pertama tidak bisa diadili dengan hukum orang B, begitu juga sebaliknya. Tidak bisa orang A dianggap puasa di tanggal 1 Syawal yang haram puasa, begitu juga orang B tidak bisa dianggap berbuka di tanggal 30 Ramadan yang masih wajib puasa. Begitu juga dalam penetapan hari Arafah. Jika berdasarkan perhitungan awal bulan Dzul Hijjah jatuh pada hari X dan tanggal 9 Dzil Hijjah jatuh pada hari Y, maka pelaksanaan wukuf mengikuti kalender itu, begitu juga hari raya kurban. Seandainya kemudian terbukti salah, wukufnya tetap sah, ibadah hajinya sah, kurbannya sah. Begitu juga puasa sunnah arafah-nya sah bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji di tempat lain yang punya kalender berbeda. Itulah maksud perkataan Nabi, “iedul fitri kalian adalah hari kalian berbuka, iedul adha kurban kalian adalah hari kalian menyembelih hewan kurban…”  (Lihat Syamsul Haq al-Adhim Abadi, 'Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, Juz 4. Cairo: Darul Hadis, 2001, hal. 410-411).

Jadi, saudara, berdasarkan sidang itsbat Kementerian Agama, hari ini kita puasa sunnah Tarwiyah, besok puasa sunnah Arafah, dan hari Rabu baru menyembelih kurban. Bagi yang melaksanakannya, tidak usah ragu. Kita mengikuti Pemerintah yang kita bayar untuk memfasilitasi pelaksanaan ibadah kita. Sebagai orang Indonesia, kita tidak perlu mengikuti kalender Kerajaan Arab Saudi, karena masing-masing punya mathla’ sendiri-sendiri. Bagi orang Indonesia yang sedang ibadah haji di Tanah Arab, ikutlah waktu setempat, jangan ikut waktu Indonesia. Begitu juga yang sedang di Indonesia, ikutlah waktu setempat, tidak mengikuti waktu Arab. Jangan puasa di Indonesia tetapi mengikuti jadwal waktu buka Arab, begitu juga sebaliknya.
Setelah saya sampaikan argumen ini, teman saya tetap ngotot dan kirim tulisan orang lain bahwa perkara ini bukan masalah fikih saja, tetapi soal politik. Ini gara-gara sekat yang bernama nation-state yang membuat kalender ibadah umat Islam tidak kompak... wekkss ternyata ujungnya Teh Botol juga tho! Apa pun masalahnya, Khilafah solusinya. Ampun dah kalau sudah begini.. Argumen apa pun tidak akan bisa dicerna oleh mereka.
 

Sumber 



Idul Adha ikut Pemerintah Saudi Arabia atau lokal?
Nadirsyah Hosen

Rupanya masih banyak yang "bingung" dengan keputusan pemerintah Indonesia dalam menentukan 10 Zulhijjah atau Idul Adha. Siapa tahu catatan di bawah ini bisa sedikit membantu menjelaskan.

1. Kenapa tidak ikut keputusan pemerintah Saudi Arabia?
Di Indonesia, meskipun NU dan Muhammadiyah berbeda dalam hisab-ru'yah namun mereka sepakat bahwa Idul idha itu bersifat lokal. Untuk menentukan tgl 10 zulhijjah, maka harus tahu tanggal 1-nya. Dan tanggal 1 Zulhijjah itu bersifat lokal alias bisa berbeda-beda tergantung posisi bulan di masing-masing negara (sesuai dengan hisab atau ru'yahnya). Kalau terjadi perbedaan dalam menentukan tgl 1 Zulhijjah maka tgl 10-nya juga berbeda.
Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri, berbeda-beda waktunya di berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan antara wukuf tgl 9 di Arafah dengan Idul Adha tgl 10 di Saudi. Wukuf memang berkaitan dengan hari arafah (dan tempatnya di Saudi Arabia) sedangkan Idul Adha dilaksanakan tanggal 10 di seluruh dunia (tidak terikat pada pelaksanaan Idul Adha di Saudi).
Berbeda dengan wukuf, Idul Adha itu ibadah yang tidak terikat dengan tempat tertentu. Idul Adha tidak termasuk dalam rangkaian ibadah haji. Dengan kata lain, iduladha itu TIDAK termasuk bagian dari rukun dan wajib haji.
Ada kelompok lain (Dewan Dakwah Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera, HizbutTahrir dan yang lainnya) memandang bahwa Idul Adha itu bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi. Menurut mereka, untuk tahu tgl 10, maka harus tahu tgl 9 Zulhijah. Nah, karena 9 Zulhijah itu hari Arafah, maka mereka mengikuti keputusan pemerintah Saudi akan kapan hari arafah itu. Patokannya sederhana, satu hari setelah wukuf di Arafah adalah Idul Adha.
Konsekuensinya, meskipun tgl 1 Zulhijah di Australia, di Jerman dan di belahan lain berbeda dengan tgl 1 Zulhijjah di Saudi (karena perbedaan posisi bulan di masing-masing negara itu), namun tanggal 10 Zulhijahnya "tiba-tiba" jadi sama. Untuk lebaran haji ini mereka tidak pakai hisab dan ru'yah, pokoknya ikut saja apa keputusan Saudi.
Akhirnya kalender mereka jadi membingungkan: utk 11 bulan lainnya mereka ikut peredaran bulan di lokasi masing-masing, tapi khusus bulan Zulhijjah mereka ikut kalender Saudi.
Boleh jadi di sebuah negara bulan zulqaidah baru tgl 28, tapi karena memaksa diri ikut Saudi, keesokan harinya lansgung lompat ke 1 Zulhijjah [padahal jumlah hari dlm 1 bulan harus minimum 29). Atau sebaliknya, boleh jadi ada negara yg menurut hisab atau ru'yah lokal sudah masuk tgl 1 Zulhijah, tapi terpaksa mundur menjadi tgl 28 atau 29 Zulqaidah; atau mereka sudah masuk tgl 9 Zulhijah tapi "terpaksa" mundur sehari jadi 8 Zulhijah. Ini semua dilakukan agar 10 Zulhijah
bisa sama dengan kalender Saudi. Tentu saja ini semua bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan!
Kalau dibikin simulasi virtual jadi "seru"....peredaran atau posisi bulan di wilayah Indonesia, misalnya, tiba-tiba "lompat" karena harus sesuai dgkalendar Saudi.
Nah, jadi sekarang yang mana yang sesuai dengan logika kita? Yang kalender dan peredaran bulannya di-adjust mengikuti Saudi atau yang mengikuti peredaran bulan berdasarkan kalender lokal? The choiceisyours🙂

2. Kapan puasa sunnatnya?
Nah, sekarang puasanya tgl berapa dong? Ya jelas puasanya tetap tgl 9 Zulhijah. Ini berarti di tempat lain, 9 Zulhijah itu bisa hari minggu, senin atau selasa, tergantung keputusan otoritas masing-maisng wilayah menetapkan tgl 1 Zulhijah-nya. Jadi, titik kesamaannya ada di sini: puasa sunnat itu tgl 9 Zulhijah.
Permasalahan baru muncul kalau penanggalan ini kita konversi ke penanggalan biasa: hari senin atau selasa puasanya? Tgl 20 atau tgl 21 Agustus 2018?  Sekali lagi, kita tidak berpuasa mengikuti penanggalan konversi tsb. Kita berpuasa tgl 9 Zulhijah! Kalau di Saudi tgl 9 Zulhijah jatuh hari senin (20 Agustus) dan di Indonesia jatuh hari selasa (21 Agustus) maka tidak ada masalah selama kita berpuasanya tetap tgl 9 Zulhijah (baik menurut Saudi atau menurut Indonesia).
Problem ini muncul karena kita masih terjebak pada logika konversi tadi. Dengan kata lain, cara berpikir kita masih merancukan antara penanggalan syamsiyah dan qamariyah. Maka seolah-olah kita harus berpuasa tgl 20 atau 21 Agustus. Logika sederhana begini: tgl 1 Muharram adalah tahun baru kita. Kita semua tahu ini. Nah, apakah tgl 1 Muharram itu jatuh pada hari kamis atau rabu (tergantung lokasi masing-masing), tidaklah menjadi persoalan selama kita memasuki tahun baru pada tgl 1 Muharram.
Ok clearyah?

3. Bukankah ada hadits Nabi yang menyuruh kita berpegang pada keputusan Amir Mekkah?
Ada sebuah hadits dari Husain bin Al Harits Al Jadalyra. yang menyatakan: "Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul) Makkah berpidato dan menyatakan bahwa: `Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru'yah. Jika kita tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang itu'". (HR Abu Dawud).
Hadis di atas layak dibahas lebih lanjut. Sunan Abi Dawud  meriwayatkan hadis tsb dalam bab "puasa", dan dalam sub-bab "kesaksian dua lelaki dalam me-ru'yat hilal syawal". Ini saja sudah menimbulkan kerancuan. Kalau hadis di atas dipahami dalam konteks ibadah haji, mengapa Imam Abu Dawud tidak meletakkan hadis tsb dalam bab Haji?
Kontroversi muncul akibat kata n-s-k yang dua kali disebut dalam matan hadis tsb (annansuka dan nasakna). Pengarang 'AunulMa'bud memahami kata tsb sebagai manasik haji, sedangkan ulama lain (misalnya pengarang kitab Nailul Awthar) memahaminya sebagai ibadah, yaitu puasa Ramadhan. Penjelasan 'AunulMa'bud memang membingungkan. Selain menganggap hadis ini bicara manasik haji, kata ru'yat dalam matan ini --yang dipahami oleh Imam Abu Dawud sebagai ru'yat hilal syawal-- digeser artinya sebagai ru'yat hilal zilhijjah. Penjelasan spt ini ditolak oleh ulama lainnya.
Jadi, menurut sebagian ulama, hadis di atas tidak bisa digunakan sebagai argumen untuk menaati keputusan Amir Mekkah dalam hal Idul Adha. Hadis ttg bulan Ramadhan kok mau dijadikan justifikasi untuk Idul Adha? Begitu kira-kira jalan pikirannya.

4. Apa pendapat ulama Saudi?
Mengenai puasa Arafah juga bersifat "lokal", fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang tercantum dalam MajmuFatawawaRosail Fadhilah alSyeikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin jilid 20 halaman 47-48. Syekh Utsaimin berpandangan iduladha mengikuti keputusan pemerintah setempat, bukan mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia.
Nah, kalau ulama Saudi sendiri berfatwa mendukung iduladha lokal dan puasa arafah lokal, maka mengapa kita masih ngotot mau mengikuti Saudi. Lha wong Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin saja nggak mau kita mengikuti Saudi heheheh
Jadi, keputusan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Pemerintah Indonesia untuk ber-iduladha hari Rabu, 22 Agustus 2018  itu sudah tepat dan sudah sesuai dengan ketentuan ilmiah serta kaidah agama. Kalau masih ada yg berbeda pandangan, ya kita saling menghormati saja. Yang penting bisa nyate bareng hehehhe


Tidak ada komentar:

Posting Komentar