Jumat, 10 Agustus 2018

Anatomi Radikalisme di Indonesia

M Kholid Syeirazi - Sekretaris Jenderal PP ISNU

Tulisan ini akan melacak akar ideologi radikalisme yang pada intinya adalah Islam sebagai ideologi politik dengan jargon الاسلام هو الدين والدولة وليس الدين والامة فقط: Islam itu agama dan negara, bahwa Islam itu sistem politik. Islam bukan sekadar agama dan umat, bukan hanya ajaran dan masyarakat. Tanpa Negara Islam, hukum Islam tidak bisa tegak. Tanpa hukum Islam yang total, Islam cacat dan seorang Muslim murtad begitu berhenti memperjuangkan formalisasi syariat.
Karena tulisan ini panjang, saya akan pecah menjadi tujuh bagian, dengan urutan subjudul sbb.
Seri-1 Pengantar
Seri-2 DI/NII: Keluar dari Konsensus
Seri-3 Penetrasi Salafisme
Seri-4 Generasi Harbi Pohantun dan Infishâl
Seri-5 Jihad Pasca Afghanistan
Seri-6 Dari JI ke JAT, Dari JAT ke JAD
Seri-7 Penutup
Tulisan ini semi-akademis, dengan referensi yang saya taruh di catatan perut. Daftar referensinya bisa dilihat di bagian penutup. Dari tulisan ini, kita akan memperoleh gambaran bahwa terorisme yang marak sekarang punya akar sejarah panjang dan terhubung dengan pergolakan Islamisme di Timur Tengah.
Semoga bermanfaat.


SERI-1 PENGANTAR
Radikalisme ada pada semua agama, tetapi dalam Islam, radikalisme atau fundamentalisme terbukti memainkan peran politik terpenting sejak abad ke-18 (Barber, 1995: 206). Radikalisme dan fundamentalisme, sebagai istilah, sering bertukar tempat karena bermuara pada satu ide: menjalankan agama sampai ke akar-akarnya, mendasarkan seluruh aspek kehidupan kepada agama. Kaum fundamentalis Islam umumnya menganggap Islam adalah agama sempurna yang mencakup kerangka acuan semua aspek kehidupan— duniawi dan ukhrawi—mengatur manusia sejak dari cara makan, tidur, bersuci, beribadah, berniaga, hingga bernegara. Mereka menganggap aturan bernegara sama bakunya dengan ketentuan syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Ketentuan ibâdah dan siyâsah sama-sama tawqîfî (doktriner). Menjalankan rukun Islam tidak sah tanpa menegakkan kepemimpinan politik Islam. Persoalan politik dan nashbul imâmah, menurut mereka, termasuk pokok dan rukun agama (ركن من اركان الدين واصل من اصوله). Meragukan apalagi mengabaikan nizâm Islâm berkonsekuensi membatalkan status keislaman seseorang. Tradisi takfir bermula dari paham politik Khawarij yang memutlakkan pandangan politik-agama dan menggemakan jargon: لا حكم الا الله (tidak hukum selain hukum Allah).
Dalam sejarah Islam, radikalisme bersumber dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah doktrin dan ideologi, faktor eksternal adalah imperialisme atau persepsi imperialisme dan ketidakadilan yang merundung umat Islam. Narasi ini akan menggali sumber internal radikalisme dengan melacak akar doktinernya pada paham salafi yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-12 M dan mengeras menjadi ajaran salafi-jihadi pada abad ke-20 M. Pengaruh ideologi salafi dan salafi-jihadi meluas hingga ke Indonesia dan menjadi tantangan terhadap kemajemukan dan kelangsungan NKRI.

Bahan Baku Radikalisme
Secara internal, radikalisme bermuara dari doktrin kesempurnaan dan keserbamencakupan Islam (شمولية الاسلام). Islam sempurna, karena itu tidak perlu ditambah dan dikurangi. Ajarannya mencakup semua, karena itu tidak perlu mencari tuntunan dari luar Islam. Contoh terbaik dari kesempurnaan Islam adalah praktek kehidupan generasi salafus shâlih. Mereka adalah tiga generasi terbaik dalam rentang tiga abad sejak zaman Nabi dan Sahabat, Tâbi’în, hingga Tâbiu’t Tâbi’în. Sahabat adalah mereka yang bertemu Nabi dan mengakui risalahnya. Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu Nabi tetapi bertemu Sahabat. Tâbiu’t Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu Nabi dan Sahabat tetapi bertemu dengan Tâbi’în. Nabi bersabda:
«خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم»
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Tercakup dalam masa itu adalah para pioneer madzhab-madzhab fikih Islam seperti Imam Hanafi (80 -148 H), Imam Maliki (93 - 179 H), Imam Syafi’i (150 - 204 H), dan Imam Hanbali (164 - 241 H) serta pemuka aliran teologi Islam Imam Abu Hasan al-Asyari (260 – 324 H).
Sebenarnya seluruh golongan Islam yang mengakui dan mengikuti madzhab adalah salafi. Namun, belakangan, salafi merujuk kepada gerakan salafisme yang dilancarkan Ibn Taimiyah (661 - 728 H/1263 - 1328 M), pembela ortodoksi Islam yang paling keras. Bermadzhab Hanbali dan cenderung tekstualis, Ibn Taimiyah adalah pemuka puritanisme Islam, sebuah paham absolutis yang tak kenal kompromi dalam beragama dan cenderung memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati (Abou El Fadl, 2007: 29). Ibn Taimiyah sangat menentang pratek keagamaan sufi dan tarekat yang dituding sarat bid’ah dan kemusyrikan. Dia juga menolak pemerintahan manusia (human rule) dan bahwa kepemimpinan politik harus berdasarkan syariah.
Hidup di masa politik bergolak akibat invasi bangsa Tartar, pena Ibn Taimiyah setajam pedangnya. Fatwa-fatwa Ibn Taimiyah menjadi rujukan hampir seluruh kaum fundamentalis Muslim dan gerakan radikal jihadis kontemporer (Bonney, 2004: 111; Tibi, 1998: 38). Fatwa Ibn Taimiyah yang paling populer adalah fatwa Il-Yasiq. Il-Yasiq (Vassa/Great Zasag Law) adalah hukum kompilasi Mongol yang dibuat Genghis Khan, diberlakukan oleh Mahmud Ghazan Khan (1271 – 1304 M), penguasa Mongol ke-7 yang telah masuk Islam di area Syam. Menurut Ibn Taimiyah, meskipun Muslim, Ghazan Khan tetap wajib diperangi karena memberlakukan selain hukum Allah. Kata Ibn Taimiyah (Ibn Katsir, 1988: 24):
« إذا رأيتموني من ذلك الجانب وعلى رأسي مصحف فاقتلوني»
“Jika kalian lihat aku di sisi pasukan Tartar, bunuhlah aku meskipun di atas kepalaku terdapat mushaf.”
Fatwa Il-Yasiq ini terkenal dan menjadi rujukan kaum jihadis untuk memerangi setiap penguasa yang menolak mengadopsi hukum Islam, meskipun dia seorang Muslim. Namun, tidak seorang pun yang menerapkannya untuk menilai realitas masa kini hingga Abdus Salam Farag melakukannya (As-Siba’i, 2002: 8). Farag adalah pentolan Jama’ah Jihad Mesir yang mengotaki pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981.
Ajaran Ibn Taimiyah menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115 - 1206 H/ 1701 - 1793 M). Beraliansi dengan Muhammad Ibn Saud (1710 – 1765 M), kepala suku Dir’iyah, Wahhabisme memulai aktivitas takfir berdarah untuk memurnikan tauhid dan ritual umat Islam. Pada era 1700-an, Wahhabisme melakukan serangkaian pembunuhan dan penjarahan di seluruh wilayah Arabia. Pada 1802, aliansi Saud-Wahhab menyerbu Karbala dan membunuh sebagian besar kaum Syiah serta merampas properti, senjata, baju, karpet, emas, perak, dan mushaf al-Qur’an (Algar, 2002: 23-25).
Belasan tahun setelah wafatnya Ibn Abdul Wahhab, Wahhabisme masuk ke tanah air melalui tiga orang Minangkabau yang pulang haji pada 1803 M dan membawa ajaran salafi. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka membentuk kaum Padri yang keras memerangi praktek bid’ah dan khurafat serta mengobarkan jihad melawan kaum Adat. Orang yang tak mau tunduk dibunuh, surau-suraunya diserang dan dibakar (Parlindungan, 2007). Perang saudara bergolak selama dua puluh tahun (1803-1823 M). Pada 1825, di bawah kepemimpinan Tunku Imam Bonjol, Kaum Padri dan Kaum Adat berkompromi dan menghasilkan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Ajaran purifikasi muncul kembali dalam sejumlah ormas Islam yang dibentuk menjelang Indonesia merdeka yaitu Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), dan Persis (1923). Dakwah mereka di satu sisi adalah memerangi TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) dan mewujudkan “Islam murni” sehingga bisa disebut salafi. Di sisi lain, mereka ingin umat Islam maju dan mengambil aspek tertentu dari kemajuan Barat sehingga disebut kaum modernis. Kiblatnya adalah gagasan-gagasan tajdid Islam Jamaludin al-Afghani (1838 – 1897 M), Muhammad Abduh (1849 – 1905 M), dan Rashid Rida (1865 – 1935 M).
Gerakan reformisme Islam Abduh menimbulkan gelombang sekularisasi politik dan agama. Sejumlah murid Abduh, seperti Saad Zaghlul, mendirikan Partai Wafd yang berhaluan nasionalis sekuler. Alî Abd Râziq menulis buku Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang mendukung langkah Ataturk menghapuskan Khilâfah dan menyatakan bahwa agama tidak berurusan dengan politik. Resah dengan gelombang sekulerisasi, Rashid Rida lantas “mewahabikan” kembali gerakan tajdid Abduh dan menghadirkan ulang Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah (Hanafi, 1989: 21). Pembelotan Rida terhadap tradisi reformatoris Abduh kelak menyiapkan jalan bagi lahirnya Al-Ikhwan al-Muslimûn (IM), induk organisasi militan yang didirikan muridnya, Hasan al-Banna, pada 1928.
Kaum modernis Islam goncang di antara salafisme yang menuntut purifikasi dan modernisme yang mengakui segi positif kemajuan Barat. Di Indonesia, aspirasi mereka adalah formalisasi syariat Islam. Ini diperjuangkan oleh para tokohnya seperti Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir (Persis) serta KH. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusuma, dan Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah) yang gigih membela konsep negara Islam sepanjang tahun 1920-an hingga 1945. Gagasan ini juga didukung oleh KH. A.Wahid Hasyim (NU) dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII) yang punya latar belakang keagamaan tradisional. Perjuangan ini berhasil melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945, tetapi tujuh kata berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu berumur pendek: didrop sehari setelah Indonesia merdeka demi menghindari perpecahan dan keberatan dari rakyat Indonesia Timur.


SERI-2 DI/NII: KELUAR DARI KONSENSUS
Cita-cita mendirikan negara Islam belum redup dengan konsensus 1945. Empat tahun setelah proklamasi, SM Kartosoewirjo, bekas aktivis PSII yang bergabung ke Masyumi, memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Dalam proklamasi NII disebutkan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah” serta menolak berlakunya “hukum kafir.” NII mengadopsi tauhid hâkimiyah yang menegaskan bahwa Darul Islam adalah manifestasi “kerajaan” Allah di Indonesia yang di dalamnya ditegakkan hukum Allah, karena itu siapa pun yang menolak masuk berarti keluar dari Islam (Dijk, 1981). Ormas Islam lain, meskipun punya kesamaan cita-cita mendirikan negara Islam, menolak jalur subversif dan lebih memilih jalur parlementer konstitusional. Muhammadiyah, misalnya, dalam Muktamar ke-32 di Purwakarta tahun 1953 membentuk panitia yang diserahi tugas menyusun Konsepsi Negara Islam di bawah kepemimpinan Abdul Kahar Muzakir. Konsep itu selesai dua tahun kemudian dan diperjuangkan melalui Partai Masyumi (Syaifullah, 1997: 99).
Keberadaan Masyumi menyediakan saluran konstitusional-parlementer untuk menampung aspirasi pendirian negara Islam. NU, sejak keluar dari Masyumi tahun 1952, juga masih menyuarakan aspirasi Islam sebagai dasar negara di forum-forum Konstituante (1956-1959). Tetapi, bersamaan dengan deklarasi kembali ke Khittah 1926 sebagai ormas non-politik, NU menegaskan NKRI final pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Menurut NU, NKRI adalah final perjuangan umat Islam mendirikan negara dan seluruh aspirasi umat Islam harus diperjuangkan dalam kerangka NKRI.

Komando Jihad
Obsesi membentuk Negara Islam tidak pernah pudar. Setelah ditumpas TNI dan SM Kartosoewirjo dieksekusi mati pada 5 September 1962 di Kepulauan Seribu, bekas pengikut DI/NII mencoba mengonsolidasi diri. Pada 1 Agustus 1962, sejumlah tokoh utama DI/NII seperti Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, dan Djaja Sudjadi melakukan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia. Kenyataannya, mereka masih terobsesi mendirikan Negara Islam. Reuni untuk menghimpun kembali kekuatan terserak itu digelar di kediaman Danu Muhammad Hasan, ayah bekas Ketua Dewan Syura PKS Hilmi Aminudin, pada 21 April 1971 di Jalan Madrasah 240, Situaksan, Bandung. Acara disponsori BAKIN yang punya agenda memobilisasi seluruh eks DI/NII agar mendukung Golkar (Solahudin, 2011: 87).
Pada 1973, eks aktivis DI/NII, dalam sebuah pertemuan di Jalan Mahoni, Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengangkat Daud Beureueh sebagai Imam Jamaah DI. Disebut Jamaah karena DI/NII secara faktual tidak lagi punya basis teritorial (qâidah amînah). Pada 1974, Daud Beureueh mendeklarasikan jihad menegakkan syariat Islam di Indonesia. Di Jawa, sebagai pengondisian jihad, Danu Muhammad Hasan melakukan propaganda dengan isu-isu hoax seputar kristenisasi dan ancaman Cina-komunisme. Dipropagandakan, antara lain, bahwa Komunis Internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada 1980 dan bahwa saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan, 50 ribu lagi akan masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul melalui Serawak (Solahudin, 2011: 121). Di Sumatera, anak buah Gaos Taufik (KPWB Sumatera) melakukan aksi teror dan perampokan di Bukit Tinggi, Medan, dan Padang. Di Jawa Barat, Aceng Kurnia (KPW 7) membentuk Pasukan Berani Mati. Di Jawa Timur, Hispran (Wakil KPWB) membentuk pasukan sabotase untuk merusak berbagai fasilitas publik.
Aksi mereka tercium aparat. Pada Januari 1977, para aktivis Jamaah DI/NII di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera diciduk aparat, termasuk Danu Muhammad Hasan, Hispran, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Zainal Abidin, Mahmud Ghozin, dan Kadar Faisal. Total anggota Jamah DI/NII yang ditangkap mencapai sekitar 700 orang. Imam Jamaah DI/NII, Daud Beureueh, menjalani tahanan rumah di Jakarta sejak 1978. Aparat menyebut gerakan mereka sebagai Komando Jihad.

Regenerasi Berlanjut
Penangkapan besar-besaran awal 1977 tidak menyentuh JPM (Jama’ah Pemuda Mujahidin), organ DI/NII yang dibentuk untuk merekrut anggota dari masjid kampus, ormas pemuda Islam, pemuda masjid, dan masyarakat umum, terutama di Jawa Barat. JPM berhasil merekrut sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah di Bandung seperti Mursalin Dahlan (Mahasiswa Teknik Kimia ITB, inisiator program pesantren kilat BPMI/Badan Pembangunan Muslimin Indonesia, mantan Ketua IMM Jawa Barat), Heri Haryadi, dan Udin Wahyudin. DI/NII juga mendapat tambahan tenaga dari eks-aktivis GPI dan PII seperti Aja Jarul Alam, Djaja Budi Rahardja alias Edi Raidin, dan Aep Saiful Bachtiar. DI/NII juga berhasil merekrut kader dari Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM) seperti Saud Efendi dan Idang Saiful Hidayat yang merupakan alumni program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman ITB yang dimentori Dr. Imadudin Abdurrahim (Solahudin, 2011: 122-23).
Di Jawa Tengah, DI/NII berhasil merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, bekas pengurus Al-Irsyad dan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) dan Haji Faleh, bekas pengurus Masyumi Kudus. Di Jawa Timur, DI/NII berhasil merekrut Kirom alias Ning Azimah (aktivis Pemuda Muhammadiyah Lamongan) dan Ahmad Ali Hasan Matali (aktivis Muhammadiyah Sidoarjo). Di Sumatera, DI/NII berhasil merekrut Timsar Zubil (aktivis PII Medan) dan Bardan Kindarto (aktivis Muhammadiyah Palembang).
Proses rekrutmen DI/NII di lingkungan Islam modernis-salafis pecahan Masyumi dapat berjalan baik selain karena kesamaan paham salafi, juga akibat otoriterisme rezim Soeharto yang dicap anti-Islam. Ketika aspirasi politik tersumbat, sebagian mereka memilih jalur subversif untuk merealisasikan cita-cita menegakkan syariat Islam. Situasi represif juga menyuburkan lahan berseminya ideologi jihad.
Beberapa pentolan DI/NII yang lolos dari penangkapan awal 1977 seperti Aceng Kurnia, bekas ajudan SM Kartosoewirjo, Adah Djaelani, Rahmat Basuki, Ules Sujai, dan Toha Mahfud mereorganisasi Jamaah DI menjadi gerakan bawah tanah dengan sistem sel tertutup yang tidak saling berhubungan. Konsep hijrah SM Kartosoewirjo—pindah ke tempat aman untuk menyiapkan jihad—dihidupkan lagi.
Pada 1 Juli 1979, Adah Djaelani diangkat sebagai pemimpin pelaksana Jamaah DI/NII. Imamnya masih Daud Beureuh, meskipun tidak efektif karena sakit dan menjalani tahanan rumah. Untuk membiayai kegiatan, Adah Djaelani memerintahkan anggotanya melakukan aksi fa’i alias perampokan. Dipimpin Warman, raja fa’i asal Garut, perampokan dilakukan di Bandung, Malang, Majalengka, dan Ciamis. Aksi fa’i tercium aparat yang segera memburu para pelaku dan menangkap pimpinannya, termasuk Adah Djaelani dan Aceng Kurnia yang ditangkap pada 1981. Adah baru bebas tahun 1994.


SERI-3 PENETRASI SALAFISME
Kepemimpinan Jamaah DI/NII bergeser ke Jawa Tengah (Solo) dan Yogyakarta di bawah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang direkrut menjadi anggota DI oleh H. Ismail Pranoto (Hispran) pada 1976 dan ditunjuk sebagai pimpinan Jamaah DI/NII di Surakarta. Masuknya Sungkar dan Ba’asyir menandai semakin kuatnya pengaruh salafi di tubuh DI. Sungkar dan Ba’asyir adalah penganut Wahhabi. Sungkar alumnus SMA Muhammadiyah Solo, Ba’asyir alumnus Pesantren Gontor. Semula radikalisme DI/NII tidak dipengaruhi doktrin salafi karena proklamator DI, SM Kartosoewirjo, adalah penganut Islam tradisional. Guru sang Imam adalah para ajengan tradisional di Malangbong, Garut seperti Kiai Ardiwisastera, Kiai Yusuf Tauziri, Kiai Mustofa Kamil, dan Kiai Ramli yang bukan penganut salafi. Sang Imam bahkan dikabarkan adalah pengikut aliran tarekat Qadiriyah.
Pengaruh salafi masuk secara tidak langsung melalui Aceng Kurnia, bekas ajudan SM Kartosoewirjo. Kebutuhan menyusun buku panduan lengkap tentang doktrin tauhid dan jihad membawa sang ideolog kepada buku-buku terjemahan karya ulama salafi-jihadi Timur Tengah seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu A’la al-Mawdudi, dan Abdul Qadir Audah. Di tahun 1970-an, buku-buku itu banyak diterjemahkan dan diedarkan oleh DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pimpinan M. Natsir, mantan ketua Masyumi. Bekerja sama dengan lembaga dakwah internasional seperti Rabithah al-Âlam al-Islâmî dan IFFSO (International Islamic Federation of Studen Organizations), DDII sepanjang taun 1970an menerbitkan 12 seri buku karya ulama al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir dan Jama’ati Islam (JI) Pakistan.
Dari terjemahan buku Risâlah Jihâd karya Hasan al-Banna, Ma’âlim fi-t Tharîq karya Sayyid Quthb, dan al-Mushthalahât al-Arba’ah karya Abu A’la al-Mawdudi, Aceng Kurnia meramu tauhid hâkimiyah bernama RMU (Rubûbiyah, Mulkiyah, dan Ulûhiyah). Inti konsep tauhid ini adalah kewajiban setiap orang Islam mengesakan Allah dalam sesembahan (ulûhiyah), hukum (rubûbiyah), dan pemerintahan (mulkiyah) yang manifestasinya adalah penegakan Darul Islam.
Salafisme masuk semakin dalam ke tubuh DI/NII ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mengambil alih kepemimpinan Jamaah DI/NII yang lumpuh pasca penangkapan Adah Djaelani pada 1981. Sungkar dan Ba’asyir terkenal di Surakarta dengan dakwahnya yang anti bid’ah dan khurafat. Di pesantren yang didirikan di Ngruki, mereka melarang upacara bendera dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Pesantren Ngruki juga bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab (LPBA)—sekarang berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), lembaga pendidikan Wahhabi yang didirikan pada 1980 dan bernaung di bawah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Arab Saudi. Sejumlah dosen LPBA/LPIA seperti Syeikh Halim Hamada, aktivis al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) asal Irak, dikirim untuk mengajar santri Ngruki.
Penetrasi ideologi IM ke Surakarta masuk melalui institusi pendidikan Arab Saudi ini. IM memang banyak menginfiltrasi lembaga pendidikan Arab Saudi, terutama melalui Universitas Islam Madinah yang didirikan pada 1961 dan Universitas King Abdul Aziz yang didirikan pada 1967. Di kedua universitas itu, para tokoh IM Mesir mendapat tempat teraman dan suaka terbaik dari kejaran Gamal Abd Nasser yang memburu dan menangkapi para aktivis dan tokoh IM sepanjang 1954-1970. Mereka meradikalkan paham Wahhabi dan menempatkan Arab Saudi sebagai basis utama operasinya (Dreyfuss, 2007: 149-152). Kelak, di bawah komando putra mahkota Mohammad bin Salman, Kerajaan Arab Saudi berkomitmen membersihkan pengaruh IM dari sistem pendidikan sekolah dan perguruan tinggi.
Melalui buku dan tenaga pengajar salafi ikhwani, sejumlah pikiran dan gerakan salafi IM ditransfer ke Surakarta. Sungkar, misalnya, sangat terpengaruh buku Al-Islâm karya Said Hawwa, tokoh IM asal Suriah, yang dibawa oleh Syeikh Halim. Sebelum dibai’at sebagai pemimpin Jamaah DI/NII wilayah Surakarta pada 1976, Sungkar dipercaya M. Natsir menjadi Ketua Pembantu Perwakilan DDII Cabang Solo pada 1970. Setelah bergabung ke Jamaah DI/NII, Natsir memintanya melepaskan jabatan di DDII, tetapi keduanya tetap berhubungan baik. Natsir bahkan membantu pelarian Sungkar ke Malaysia pada 1985 karena ditarget aparat setelah kampanye menolak asas tunggal Pancasila.
Setelah bai’at bergabung dengan DI/NII, Sungkar beberapa kali berurusan dengan aparat keamanan dan kabur ke sejumlah tempat.
Namun, kaderisasi terus jalan. Dibantu Ba’asyir dan Hasan Bisri serta dua kolega Ba’asyir semasa nyantri di Gontor, Abdul Kadir Baraja dan Abdullah Umar, DI/NII berhasil meluaskan pengaruh ke Yogyakarta dan merekrut sejumlah kader potensial seperti Tolkah Mansyur, Yusuf Latif, Fihirudin Moqthie alias Abu Jibril, Irfan S. Awwas (adik kandung Fihirudun, sekarang menjadi Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin), Hasan Bauw (kelak dibunuh karena dianggap berkhianat), Bambang Sispoyo, Nuri Suharsono, dan Muchliansyah. Yang paling penting, melalui Fihirudin alias Abu Jibril, DI/NII berhasil merekrut Ir. Syahirul Alim, M.Sc, da’i terkenal dan dosen kimia Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) UGM. Tokoh ini, belum genap setahun menjadi anggota DI, kelak dibaiat menjadi Imam Jamaah DI/NII.
DI/NII Masuk Kampus
Menyusul penangkapan massal terhadap para tokoh dan anggota DI/NII di Jawa Barat pada awal 1977, aparat menciduk para tokoh DI Jawa Tengah pada akhir 1978, termasuk Sungkar—yang ditangkap di Peterongan Jombang—Ba’asyir, Hasan Bisri, Sunarto, dan Abu Jibril. Menyusul kemudian Abdullah Umar, Yusuf Latif, Nuri Suwarsono, dan Bambang Sispoyo. Beberapa tahun kemudian, sejumlah tokoh DI dibebaskan dan menata ulang anggota dan organisasi yang berpusat di Pesantren Ngruki. Kaderisasi mengadopsi sistem usroh yang dipakai Ikhawanul Muslimin (IM) Mesir.
Pada Oktober 1982, Syahirul Alim diangkat menjadi Imam DI/NII Jawa Tengah. Surat pengangkatannya ditandatangani Hasanudin Hajad, orang dekat Daud Beureuh yang mengaku sebagai Panglima Perang NII. Pada akhir 1982, Sungkar keluar penjara. Awal 1983, dia menginisiasi pertemuan Solo yang membaiat Syahirul Alim sebagai imam baru Jamaah DI/NII menggantikan Daud Beureuh. Tokoh DI Jawa Barat menolak dengan alasan Adah Djaelani belum mundur. Mereka menyebut kelompok Sungkar liar. Di bawah Syahirul Alim, DI/NII memasuki era baru, dipimpin seorang dosen dan dijalankan oleh pemuda dan mahasiswa. Fokusnya adalah melawan rezim Soeharto yang dianggap murtad. Definisi takfîr direvisi, tidak lagi men-jahiliyah-kan umat Islam di luar DI/NII, karena mereka hanya korban kejahatan rezim murtad Orde Baru yang anti-Islam.

Kolaborasi Rumit
Keberhasil revolusi Iran 1979 turut memprovokasi pemimipin dan anggota baru DI/NII untuk menggulingkan kekuasaan. Untuk mencapai maksud itu, DI/NII bukan hanya rela bekerja sama dengan kelompok oposisi sekuler seperti Petisi 50, tetapi juga dengan kaum Syiah yang menjadi musuh bebuyutan kaum salafi. Sebelum tutup tahun 1982, Soeharto dirancang untuk dibunuh bersama sejumlah menteri yang dianggap anti-Islam seperti Daud Yusuf, Ali Moertopo, Amir Machmud, Amir Murtono, dan LB Moerdani. Mursalin Dahlan bertugas memimpin tim eksekusi. Rencana pembunuhan gagal, dan sebagai gantinya, Soeharto akan dieksekusi di Candi Borobudur saat peresmian pemugaran candi pada 23 Februari 1983. Rencananya, selepas eksekusi, akan digelar Apel Akbar Ikrar Wahdatul Islam untuk mengambil alih kekuasaan pada 25 Februari 1983. Untuk menarik massa Islam, undangan dibuat atas nama MUI. Mereka memalsukan kop surat, stempel, serta tanda tangan KH Syukri Ghozali, Ketua MUI (Solahudin, 2011: 177).
Tetapi, rencana pembunuhan Soeharto gagal, begitu juga dengan apel akbar. Penyandang dana rencana kudeta adalah Ir. HM. Sanusi, tokoh Petisi 50—mantan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968), mantan anggota DPR/MPR RI, pernah menjadi pengurus PP Muhammadiyah dan Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru. HM Sanusi menyebut Mursalin hanya banyak bicara, tetapi tak bisa kerja. Sanusi kelak ditangkap karena makar dan diduga mendanai aksi pengeboman gedung BCA dan pusat pertokoan Jembatan Metro pada Oktober 1984 yang dilakukan GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah) dan divonis 19 tahun penjara.
Pada April 1983, MPR mengesahkan Tap MPR No. II/MPR/1983 tentang Asas Tunggal Pancasila. Kelompok Islam marah. Soeharto bersikap keras dan menangkap sejumlah dalang, termasuk Toni Ardie dan Irfan S. Awwas pada 1984. Syahirul Alim non-aktif, Abu Jibril kabur ke Kalimantan. Dibantu Muhammad Jabir, menantu Aceng Kurnia, Muchliansyah sembunyi di Jakarta dan menata ulang jaringan usrah yang macet karena aktivitas politik. Basisnya di Condet dan Jl. Wijaya, Jakarta Selatan. Nama DI/NII ditinggalkan, beralih menjadi gerakan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pola kaderisasinya mengadopsi doktrin salafi dalam amaliah dan IM dalam gerakan.
Sementara itu Mursalin Dahlan meneruskan rencana makar, kali ini bersekutu dengan kaum Syiah Malang yang dipimpin Husein al-Habsyi dan Ibrahim Jawad alias Krisna Triwibowo. Jawad pengagum Khomeini dan terobsesi mengimpor revolusi Iran ke Indonesia. Kesamaan cita-cita menegakkan syariat Islam dan menggulingkan Soeharto mempertemukan kader-kader pesantren kilat binaan Mursalin Dahlan (LP3K) dengan kaum syiah. Perantaranya adalah Muhammad Achwan, aktivis sanlat Malang. Kolaborasi kader LP3K dan Husein-Jawad sepakat membentuk Ikhwanul Muslimin. Pada 21 Januari 1985, sebagai balas dendam terhadap kelaliliman rezim atas umat Islam dalam kasus Tanjung Priok, mereka meledakkan Candi Borobudur. Target selanjutnya Bali, tetapi bom keburu meledak di bus Pemudi Express pada Maret 1985. Pengikut Husen Al-Habsyi dan aktivis sanlat, termasuk Mursalin Dahlan, satu per satu ditangkap, tetapi Al-Habsyi sendiri baru ditangkap pada 1990.

Hijrah ke Malaysia
Tindakan represif Orde Baru terhadap para penentang asas tunggal Pancasila mendorong para aktivis Jamaah DI/NII hijrah ke Malaysia. Pada April 1985—dibantu M. Natsir (DDII)—Sungkar, Ba’asyir, Abu Jibril dan rombongan berjumlah total 23 orang kabur ke Malaysia. Muchliansyah alias Solihin, pemimpin Usrah Jakarta, menyusul lari ke Malaysia bersama Ibnu Thoyib, Sahroni, dan Syafki setelah melakukan aksi fa’i. Di Malaysia, Sungkar dan pengikutnya tinggal di Kuala Pilah, Kuala Lumpur, dekat Madrasah Ittiba’ as-Sunnah yang mengajarkan paham salafi yang dipimpin Ustadz Hasyim Gani. Sebagai penghubung (shilah) komunikasi antara aktivis DI/NII Malaysia dengan DI/NII Indonesia ditunjuk Muzahar Muchtar.
Perjuangan Sungkar memasuki babak baru usai bertemu Abdullah Kadungga, menantu Kahar Mudzakar, tokoh Permesta. Kadungga membawa kabar bahwa dua tokoh jihad Afghanistan berpaham salafi, Syeikh Abdullah Azzam dan Syeikh Abdur Rabb Rasul Sayyaf, mendirikan yayasan Maktab al-Khidmat dan membuka program tadrîb ‘askarî (diklat militer) untuk calon mujahidin dari luar Afghanistan. Salah satu pengurus dan donator Maktab al-Khidmat adalah jutawan Arab Saudi, Usamah bin Ladin. Dibantu lobi M. Natsir, Sungkar dan Ba’asyir terbang ke Arab Saudi untuk menggalang dana dan bertemu Bin Baz menerima sejumlah nasehat perjuangan. Dari Arab Saudi, Sungkar dan Ba’asyir bertolak ke Peshawar, provinsi perbatan Pakistan dengan Kabul, Afghanistan, menemui Syeikh Rasul Sayyaf guna menjajaki pengiriman peserta tadrîb ‘askarî. Tujuannya bukan untuk membantu mujahidin Afghanistan melawan tentara Uni Soviet, tetapi menyiapkan para kader terlatih untuk mengobarkan jihad bersenjata melawan rezim thaghut Orde Baru. Sayyaf menyambut baik dan berjanji membantu memfasilitasi pejuang Indonesia mendapat diklat militer selama enam semester.
Dikoordinir oleh Ibnu Thoyyib, para kader DI/NII Solo-Yogyakarta-Jakarta diseleksi dari tiga sumber utama: jaringan usrah, termasuk jaringan pesantren Ngruki; jalur non-usrah; dan jaringan keluarga DI/NII. Ada juga dari jalur personal berbasis rekomendasi, meskipun kecil, seperti kasus Nasir Abas yang direkomendasi Ustadz Hasyim Gani. Mereka dikirim ke Harbi Pohantun (Akademi Militer) Ittehad-e Islami milik Rasul Sayyaf mulai 1985 dan berlangsung hingga 10 angkatan. Pada 1986, Sungkar-Ba’asyir masih sempat mengirim 50 orang, tetapi kemudian macet pasca penangkapan jaringan usrah di Jakarta. Program dilanjutkan pada 1987 dan berakhir 1991.
Ittehad-e Islami adalah penerima bantuan terbanyak dari pemerintah Arab Saudi. Dari 1980 hingga 1990, Arab Saudi dilaporkan telah memberi bantuan resmi kepada mujahidin Afghanistan sebesar US$4 miliar, belum termasuk bantuan swasta dari para pangeran dan swadaya masyarakat yang dikumpulkan di masjid-masjid (Rasheed, 2007: 107). Selain karena bujukan Amerika, keterlibatan dan dukungan Arab Saudi terhadap jihad Afghanistan adalah untuk memulihkan citra Islam yang koyak akibat serangkaian liberalisasi yang dilakukan Kerajaan, dimulai pada masa Raja Saud ibn ’Abd al ’Aziz al-Sa’ud (berkusa 1953 – 1964) yang diteruskan oleh Raja Faisal bin ’Abdul ‘Aziz al-Saud (berkuasa 1964 –1975). Selain menghapuskan perbudakan, Raja Faisal membuka pendidikan bagi wanita serta memberi izin bagi mereka bekerja di luar rumah, membuat Televisi Saudi dan membolehkan wanita menjadi pembawa acara, mengizinkan pegawai nonmuslim bekerja di jazirah, dan mengizinkan peredaran minuman beralkohol di daerah yang dihuni oleh orang asing.
Kebijakan liberalisasi dinilai menyimpang dari paham pendiri Kerajaan. Pada 20 November 1979, Juhaiman al-Otaibi, pengikut Jamâ’ah Salafiyah al-Muhtasiba (JSM) yang didirikan Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menduduki Masjidil Haram bersama 300 orang pasukannya. Tindakan makarnya adalah untuk meluruskan penyimpangan kerajaan terhadap ortodoksi paham Wahhhabi. Insiden berdarah yang dipicu Otaibah memang berumur pendek, tetapi Kerajaan kemudian mendukung habis-habisan dakwah salafi-Wahhabi pada awal 1980 (Trofimov, 2007). Jihad Afghanistan menyediakan kesempatan terbaik bagi Kerajaan untuk menyalurkan energi kaum militan domestik seperti Juhaiman.


SERI-4 GENERASI HARBI POHANTUN DAN INFISHÂL
Program Harbi Pohantun Ittehad-e Islami berhasil meluluskan 200 orang dari target 300, sebagian kelak menjadi tokoh-tokoh penting Jamaah Islamiyah, dan terlibat sejumlah aksi teror seperti Bom Natal dan Bom Kedutaan Filipina tahun 2000, Bom Bali tahun 2002, dan Bom JW Marriot tahun 2003.
Di antara alumni Harbi Pohantun adalah Aris Sumarsono alias Zulkarnaen (angkatan I/1985), Ahmad Roihan alias Sa’ad (angkatan I/1985), Ali Ghufron alias Mukhlas (angkatan II/1986), Muhaimin Yahya alias Maulawi Zaid (angkatan II/1986), Thoriquddin alias Hamzah alias Abu Rusdan (angkatan II/1986), Imam Baihaqi alias Musthopa (angkatan II/1986), Adi Suryana alias Muhammad Qital (angkatan II/1986), Encep Nurjaman alias Hanbali (angkatan IV/1987), Fihiruddin alias Abu Jibril (angkatan IV/1987/tidak tamat), Muchliansyah (angkatan IV/1987/tidak tamat), Taufik alias Huzaifah (angkatan V/1987), Farihin alias Ibnu (angkatan V/1987), Nasir Abas alias Sulaiman (angkatan V/1987), Usman alias Abas (angkatan V/1987), Zuhroni alias Nu’aim (angkatan V/1987), Suranto alias Umair alias Abdul Ghoni (angkatan VII/1987), Ainul Bahri alias Abu Dujana (angkatan VII/1987), Jabir (angkatan VII/1987), Fathurohman al-Ghozi (angkatan VIII/1999), Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Bara (VIII/1999), Abdul Aziz alias Qudama alias Imam Samudera (IX/1999), Ali Imron alias Ziad, adik kandung Ali Ghufron alias Mukhlas (angkatan IX/1990), Abu Syeikh alias Umar Patek (angkatan IX/1990), dan Indrawarman alias Toni Togar alias Abu Ubaidah (angkatan X/1991). Sungkar dan Ba’asyir sendiri alumni Harbi Pohantun program takhasus enam bulan pada 1987. Program ini bertujuan memberikan pelatihan-pelatihan perang secara cepat, diadakan di Kamp Kheldan milik Syeikh Abdullah Azzam. Alumni lain program takhasus adalah Abdul Matin alias Dulmatin, penggagas utama Lintas Tanzim Aceh.
Mereka diberi kesempatan praktek perang di medan tempur bersama mujahidin Afghanistan, antara lain pada pertempuran Joji, tempat mereka bertemu dengan Usamah bin Laden, jutawan Arab Saudi yang ikut perang membela Afghanistan dan mendirikan kamp Musa’adah al-Anshar.
Di Harbi Pohantun, para siswa bukan hanya mendapat diklat kemiliteran, tetapi juga doktrin-doktrin salafi dalam materi akidah, fikih, tafsir, hadis dan fikih jihad. Jihad dalam pengertian baru yang mereka terima adalah fardlu: fardlu ‘ain untuk jihad bela diri (jihâd difâ’i) dan fardlu kifâyah untuk jihad ofensif (jihâd hujûmî). Tidak ada pengertian lain di dalam al-Qur’an tentang jihad selain qitâl (perang fisik). Hadis tentang ‘jihad kecil’ (perang fisik) dan ‘jihad besar” (perang melawan hawa nafsu) adalah palsu. Syeikh Abdullah Azzam—yang mengajar di Harbi Pohantun—menegaskan bahwa ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah yang menyebut jihad di luar makna qitâl telah di-nasakh oleh ayat-ayat pedang (âyâtus saif), terutama oleh QS. Taubah/9 ayat 5 dan 36 (Azzam, 1994: 76).
Azzam juga membenarkan terorisme (irhâbiyah) dan menyebut terorisme sebagai perintah agama untuk menggentarkan musuh-musuh Islam. Dalam salah satu ceramahnya yang viral, Azzam memberikan pernyataan kontroversial (http://www.ssrcaw.org/ar/print.art.asp?aid=554878&ac=2):
نحن إرهابيون والإرهاب فريضة ، ليعلم الغرب والشرق اننا إرهابيون واننا مرعبون (واعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم). فالإرهاب فريضة في دين الله.
“Kami adalah teroris dan teror itu wajib, agar orang Barat dan Timur tahu bahwa kami teroris (adalah ayat): (Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk meneror/menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian/QS. Al-Anfal/8: 60). Maka teror adalah wajib dalam agama Allah.”
Di Afghanistan inilah terbentuk ideologi salafi-jihadi. Salafi karena menghendaki purifikasi tauhid dan syariah. Jihadi karena menekankan kewajiban jihad dan jihad tidak punya makna lain selain qitâl. Jihad berlaku bukan hanya terhadap kâfir harbî, tetapi juga penguasa murtad yang menolak memberlakukan syariat Islam. Doktrin-doktrin jihad Ibn Taimiyah, Sayyid Quthb, dan Abdus Salam Farag—pentolan Jamâah Jihâd, penulis buku al-Farîdlah al-Ghâibah—memberi pengaruh kuat.
Generasi baru jamaah DI/NII produk Harbi Pohantun ini kelak cekcok dalam paham agama dengan generasi DI/NII produk Gunung Cupu. Mereka adalah bekas pelaku Komando Jihad yang bebas dari penjara dan kemudian mencoba mereorganisasi jama’ah. Setelah aparat menggulung jaringan usrah Jakarta pada 1986, atas inisiatif Ujang Baharudin, tokoh DI Lampung, konsolidasi diadakan di Lampung pada 4 November 1987 dan mengangkat Ajengan Masduki sebagai Imam baru Jamaah DI/NII. Ajengan Masduki adalah tokoh tua DI/NII generasi Gunung Cupu, bekas Bupati DI/NII Tasikmalaya, anggota Dewan Fatwa DI/NII pada masa Adah Djaelani. Rapat Majelis Syura juga mengangkat Abdullah Sungkar sebagai Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT) Luar Negeri dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Menteri Kehakiman.
Sungkar-Ba’asyir semula bai’at terhadap kepemimpinan Ajengan Masduki dan bahkan sempat mengantar Sang Imam bertolak ke Afghanistan pada 1988 menemui Syeikh Rasul Sayyaf untuk meminta bantuan senjata bagi perjuangan DI/NII. Namun, hubungan baik Sungkar-Ba’asyir dengan Imam baru DI/NII ini berlangsung singkat. Sebagaimana SM Kartosoewirjo, Ajengan Masduki adalah pengamal tarekat. Pengikutnya juga tertarik dengan dunia mistik Islam, sesuatu yang dianggap sesat dalam paham salafi. Sungkar beberapa kali mencela kecenderungan mistik Sang Imam, tetapi Ajengan bergeming. Akhirnya, dibumbui isu transparansi keuangan dan loyalitas, Sungkar dan Ba’asyir infishâl, memisahkan diri dari Ajengan Masduki pada 1992 dan membentuk organisasi baru bernama Jamaah Islamiyah (JI) pada 1993. Sungkar menjadi Amir Jamaah, dibantu Majelis Qiyadah Markaziah (Majelis Pimpinan Pusat) dan Majelis Qiyadah Mantiqi (Majelis Pimpinan Wilayah).
Pasca pembentukan JI, para kader DI/NII di Afghanistan diberikan pilihan: mereka akan dipulangkan ke Indonesia/Malaysia kalau memilih loyal kepada Ajengan Masduki atau tetap tinggal di Afghanistan jika ikut JI. Sebagian besar alumni Afghanistan memilih ikut JI.
Setelah infishâl, DI/NII pimpinan Ajengan Masduki tak lagi aktif sebagai gerakan makar, terlebih ketika pindah kepemimpinan ke Abu Toto Abdus Salam alias Panji Gumilang. Toto alumni Gontor, bekas aktivis GPI. Ketika Adah Djaelani bebas tahun 1994, dia menunjuk Toto sebagai penggantinya pada 1997. Suksesi imâmah ke Toto ditolak kubu Ajengan Masduki karena dinilai tidak sesuai pedoman. Rahmat Tahmid Basuki, anak SM Kartosoewirjo, juga menolak. Namun, Toto paling kuat dalam jaringan dan dana. Tahun 1998, Toto mendirikan Pesantren Al-Zaytun di atas tanah seluas 1.200 hektar. Duitnya berasal dari sumbangan penguasa dan pejabat, selain dari pungutan anggota atas nama perjuangan. Di bawah Toto, pusat NII bergerak ke KW-IX, bermarkas di pesantren megah Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu. Rekrutmen kader NII masih jalan, namun bukan lagi untuk mengobarkan ideologi jihad melawan NKRI, melainkan mengumpulkan duit untuk kepentingan Sang Imam dan yayasannya atas nama perjuangan.
Di sisi lain, JI pimpinan Sungkar-Ba’asyir aktif merekrut kader-kader jihadis, terutama dari 15 pesantren yang didirikan para tokoh salafi-jihadi. Kader yang terseleksi dilatih di Kamp Hudaibiyah Mindanao, kamp latihan militer milik MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang diserahkan ke JI sejak 1997. Para instrukturnya adalah alumni Afghanistan seperti Nasir Abas, Imron Baihaqi alias Musthopa, Thoriqudin alias Hamzah, Muhaimin Yahya alias Maulawi Zaid, dll. Dalam waktu dua tahun (1998-2000), diklat militer berhasil meluluskan 170-an kader JI dari Malaysia dan Indonesia. Sebagian lain dikirim mengikuti tadrîb ‘askarî di Mu’askar al-Farûq milik al-Qaeda di Afghanistan. Selama dua tahun (1999-2001), sekitar 20-an kader JI, terutama dari Malaysia, mengikuti program ini seperti Dr. Azhari dan Wan Min Wan Mat.


SERI-5 JIHAD PASCA AFGHANISTAN
Usai Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari Afghanistan pada Februari 1989, terjadi fitnah perpecahan di antara mujahidin baik yang berasal dari Afghanistan maupun asing. Di internal mujahidin Afghanistan perpecahan terjadi di antara Gulbudin Hikmatyar dari Hizb Islam dengan Syeikh Ahmad Masoud dari Jama’ati Islam. Perpecahan juga terjadi di antara mujahidin asing yaitu antara Syeikh Abdullah Azzam dan Dr. Ayman al-Zawahiri terkait pilihan jihad pasca Afghanistan. Syeikh Azzam berpendapat mujahidin harus meneruskan jihad di wilayah kaum Muslimin yang diduduki kâfir harbî (kâfir ajnabî) seperti Palestina. Sementara Al-Zawahiri berpendapat mujahidin harus kembali ke tempat asal masing-masing untuk memerangi para penguasa murtad (kâfir mahallî) yang menolak memberlakukan hukum Islam.
Pendapat Al-Zawahiri cocok dengan misi tadrîb askarî kader-kader DI/NII. Usamah Bin Laden juga cenderung kepada pendapat Al-Zawahiri dan mendirikan al-Qaeda pada awal 1988. Al-Qaeda bertujuan membentuk Khilâfah Islâmiyah dan memfasilitasi mujahidin di negeri Muslim memerangi penguasa murtad yang menolak mendirikan negara Islam. Menurut Usamah, jihad memerangi kâfir mahallî (near enemy) lebih utama daripada jihad memerangi kâfir ajnabî (far enemy). Pikiran ini berubah pada 23 Februari 1998 ketika Usamah mulai berpikir menyerang Amerika. Atas nama World Islamic Front, Usamah bersama Ayman al-Zawahiri , Rifa’i Ahmad Taha, Syeikh Mir Hamzah, dan Fazlurrahman mengeluarkan fatwa: “Membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya, baik sipil maupun militer, adalah kewajiban setiap muslim yang dapat dilakukan di negara mana pun bila memungkinkan.”
Fatwa Usamah ditolak para ulama senior Arab Saudi murid-murid Bin Baz. Mufti ‘Am Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh, menyebut Al-Qaeda dan ISIS “musuh nomor satu” Islam. Sebagai balasan, Al-Qaeda mengkafirkan Kerajaan Arab Saudi. Al-Maqdisi, ideolog al-Qaeda, menulis buku “Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah” yang menyebut Arab Saudi sebagai negeri brengsek (al-daulah al-khabîtsah) dan penipu yang mencampuradukkan hukum Allah dan hukum buatan manusia (Al-Maqdisi, ttp, 2000: 5, 17). Sementara ISIS dalam portal propagandanya, Dabiq Edisi ke-13, menyebut Masjidil Haram diimami orang kafir dan merilis fatwa bunuh 17 ulama Saudi.

Ambon dan Poso: Medan Jihad Baru
Fatwa Usamah terbit tidak lama setelah Indonesia dilanda pergolakan politik menyusul lengsernya Soeharto pada Mei 1998. Melalui KISDI, underbouw DDII yang dipimpin Ahmad Sumargono, aktivis JI terlibat mendukung Habibie, termasuk menghalau mahasiswa yang menduduki DPR/MPR dan menolak pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden. Pilihan ini mudah dimengerti karena DDII adalah organisasi lama Sungkar sebelum masuk DI/NII. Penyusupan JI ke KISDI berjalan mulus karena Usman alias Abas—anggota laskar khos JI—adalah sopir pribadi Ahmad Sumargono. Melalui proyek politik ini, sejumlah uang dari para pendukung Habibie mengalir ke tangan JI (Solahudin, 2011: 247-48).
Sungkar dan Ba’asyir baiat kepada Usamah setelah diundang langsung bertemu dengan jutawan Arab itu di Afghanistan pada medio 1998. Sungkar dan Ba’asyir juga mengajak para tokoh DI/NII bergabung bersama Usama memerangi Amerika Serikat, tetapi ajakan itu ditolak. Sebagian kader JI seperti Ibnu Thoyib, Ahmad Roihan, dan Thoriqudin juga menolak fatwa Usamah dengan alasan memerangi musuh dekat tetap lebih utama ketimbang musuh jauh. Sementara anggota JI yang setuju seperti Hanbali, Ali Ghufron, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera menyambut antusias seruan Usamah.
Perdebatan dua kubu reda ketika konflik meletus antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso sekitar tahun 1999-2000. Dua kubu sepakat bahwa jihad membela kaum Muslim adalah kewajiban yang tidak bisa ditunda. Konflik komunal menyediakan kesempatan terbuka bagi kader JI terjun langsung ke medan tempur sebagai arena jihad. Dalam rangka penggalangan dana jihad, JI sekali lagi bekerja sama dengan underbuow DDII bernama KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis). KOMPAK dibentuk di beberapa daerah, tetapi yang paling aktif adalah Solo, dipimpin Aris Munandar, alumni Afghanistan (Angkatan IX/1991), adik kandung petinggi DDII bernama Muzayin Abdul Wahhab. Selain menggalang dana, KOMPAK membuka program tadrîb ‘askarî di Waemorat, Batubual, Kab. Buru, Maluku. Salah satu instrukturnya adalah Dr. Azhari Husein, dosen Universiti Sains Malaysia (USM), salah satu otak bom Bali 2002 yang ditembak mati polisi pada 2005 di Batu, Malang. Alumni tadrîb ‘askarî Waemorat yang menonjol adalah Abdullah Sonata, dikenal sebagai pemimpin Mujahidin KOMPAK. Aksinya yang paling legendaris adalah memimpin penyerbuan Markas Brimob Tantui, Ambon, pada 2006 dan berhasil merampas 900 pucuk senjata.
Meski kemudian hubungan JI-Mujahidin KOMPAK memburuk, konflik telah menjadi ladang subur bagi JI menyebarkan paham salafi-jihadi. Bahkan H. Adnan Arsal, tokoh Islam tradisional Poso, meninggalkan madzhab Syafi’i dan menganut paham salafi-jihadi. Belakangan, meski membantah, Adnan dituding melindungi jaringan teroris MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.


SERI-6 DARI JI KE JAT, DARI JAT KE JAD
Saat Indonesia dirundung konflik komunal dan JI menemukan ladang jihad, di tubuh JI terjadi dinamika menyusul wafatnya Abdullah Sungkar, Amir JI yang disegani pada 20 Oktober 1999. Meski tidak definitif, tampuk kepemimpinan pindah ke Abu Bakar Ba’asyir sebagai tokoh senior, tetapi figur ini dianggap lemah oleh banyak anggota JI. Dalam Kongres Mujahidin I di Yogyakarta, 5-7 Agustus 2000, sejumlah aktivis dan ormas Islam mengangkat Ba’asyir sebagai Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah organisasi yang banyak menampung veteran Afghanistan dan napiter eks-aktivis DI/NII. Ba’asyir bersedia menjadi Amir MMI karena merasa bukan Amir JI yang diangkat sesuai PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan JI). Meski ada upaya mengangkat Ba’asyir sebagai pengganti Sungkar, JI kehilangan kepemimpinan definitif setelah 1999. Struktur DI bisa dikatakan lumpuh, yang tersisa adalah para kombatan ‘liar’ yang tidak terikat komando. Karena itu, ketika Hanbali dan Imam Samudera meledakkan 25 bom di sejumlah gereja hampir serentak di delapan kota—yang dikenal dengan Bom Natal 24 Desember 2000—Ba’asyir menyangkal terlibat. Sebagian besar anasir JI, baik alumni Afghanistan maupun Mindanao, juga menolak bertanggung jawab.
Ba’asyir masih sempat melantik Nasir Abas sebagai Ketua Mantiqi III JI pada April 2001. Namun, ketika gedung WTC dihancurkan oleh Al-Qaeda pada 9 September 2001 (9/11), Ba’asyir menyangkal terkait JI atau berhubungan dengan organisasi Al-Qaeda. Thoriquddin alias Abu Rusydan alias Hamzah, dalam sebuah pertemuan di Mega Mendung pada 2 April 2002, disebut-sebut diangkat menjadi pelaksana harian Amir JI.
Termotivasi dengan aksi 9/11, Encep Nurjaman alias Hanbali, Ali Ghufron alias Mukhlas, Abdul Aziz alias Imam Samudera, Ali Imron alias Ziad, Dulmatin, Umar Patek alias Abu Syeikh, Amrozi bin Nurhasyim, Abdul Ghoni alias Umeir, dan Sajio alias Sawad kembali mengguncang Indonesia dengan Bom Bali, 12 Oktober 2002. Meski menyangkal, Ba’asyir dituduh terlibat dan kemudian dihukum penjara 2,6 tahun pada 3 Maret 2005. Para petinggi JI yang anti Bom Bali juga diciduk aparat seperti Ahmad Roihan alias Saad, Thoriqudin alias Hamzah alias Abu Rusydan, Musthopa alias Abu Tholut, dan Nasir Abas alias Sulaiman.
Bebas pada 14 Juni 2006, Ba’asyir kecewa terhadap MMI yang ternyata masih mengadopsi ‘sistem jahiliyah’ demokrasi dalam kepemimpinan organisasi. Dia mundur sebagai Amir MMI pada 13 Juli 2008 dan kemudian mendirikan Jamâah Anshârut Tauhîd (JAT) pada 17 September 2008. Pada 2010, Ba’asyir kembali ditahan dan divonis bersalah pada 16 Juni 2011 atas tuduhan mendanai pelatihan militer Aceh. Tuduhan lainnya, mendirikan sayap Al-Qaeda di provinsi NAD. Ba’asyir dihukum 15 tahun penjara.

Dari JAT ke JAD
Aman Abdurrahman, pengagum Syeikh Abu Muhammad al-Maqdisi (ideolog Al-Qaeda), semula ikut mendirikan JAT bersama Ba’asyir. Dia juga dihukum 9 tahun penjara dalam kasus pelatihan militer Aceh. Dari bilik sel tahanan Nusakambangan, Cilacap, dia mendirikan Jamâ’ah Anshârut Daulah (JAD) pada Oktober 2014 dengan empat tujuan: (i) sebagai wadah menyatukan para pendukung ISIS di Indonesia yang berasal dari berbagai organisasi Islam, (ii) mempersiapkan kaum muslimin Indonesia untuk menyambut kedatangan Khilâfah Islâmiyah, (iii) menyatukan pemahaman dan manhaj dari para pendukung Anshar Daulah, dan (iv) mempersiapkan orang-orang yang hendak pergi berjihad.
Dibantu Marwan alias Abu Musa, Zainal Anshori alias Abu Fahry, dan Abu Khatib, Aman sukses mengajak ribuan orang berbaiat kepada ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. Beberapa bulan sebelumnya, al-Baghdadi—bekas anggota al-Qaeda—memproklamirkan berdirinya Khilâfah dan mengangkat dirinya sebagai Khalîfah di Mosul pada 29 Juni 2014. Untuk mendukung perjuangan al-Baghdadi, Aman pada awal 2015 merancang tadrîb ‘askarî untuk pengikutnya di Gunung Panderman, Batu, Malang, dan mengirim pasukan ke Suriah. Salah satu yang berangkat ke Suriah itu adalah Bahrun Naim, dalang teror Sarinah di jalan MH Thamrin. Pelakunya sendiri Afif alias Sunakim, tukang urut Aman Abdurrahman.
Dari dalam sel tahanan Nusakambangan, Ba’asyir, atas bujukan Aman, dikabarkan mendukung perjuangan ISIS meski tidak secara terbuka menyatakan bai’at. Dukungan Ba’asyir membuat pengikutnya gusar. JI dekat dengan al-Qaeda dan organisasi afiliasinya, Jabhah Nusrah. Sementara al-Qaeda tidak akur dengan ISIS dan menyatakan perang melawan Abu Bakar al-Baghdadi sejak 11 September 2015. Sekelompok orang JAT yang tidak setuju dengan sikap Ba’asyir seperti Muhammad Achwan, Firman Taufikuroman, dan anak Ba’asyir sendiri—Abdur Rochim Ba’asyir—mendirikan Jamâ’ah Anshârus Syarîah (JAS) pada Agustus 2014.
JAD menjadi kelompok teroris paling aktif saat ini, meski terbilang lemah dalam struktur, kaderisasi, dan kemampuan militer. JAD berbentuk jaringan otonom tanpa struktur komando yang jelas seperti JI hingga 1999. Aman, pendiri JAD, ditangkap pada 2010 karena terlibat pelatihan militer di Aceh dan dihukum 9 tahun penjara. Pada Desember 2016, kepemimpinan diserahkan ke Zainal Anshori alias Abu Fahry. Zainal kemudian mengundang semua sel JAD ke Malang untuk menyusun plot amaliah. Pada Maret 2017, Zainal ditangkap atas tuduhan mengotaki penyerangan pos polisi Tuban pada April 2017 dan divonis 7 tahun penjara. Pasca penangkapan Aman dan Anshori, sel JAD bergerak tanpa komando. Aman mungkin tetap figur paling berpengaruh, tetapi penjara tak mungkin membuatnya efektif menjalankan komando. Pada 22 Juni 2018, Pengadilan memvonis Aman hukuman mati.
JAD juga gampang merekrut orang tanpa kaderisasi dan proses indoktrinasi panjang. Tanpa bekal agama yang cukup, orang bisa bergabung ke JAD dan berbaiat ke ISIS. Rekrutmen, ideologisasi, dan pelatihan amaliah kadang juga dilakukan secara daring. Sel JAD memang tergolong paling aktif menggunakan platform media sosial. Di JI, anggota direkrut lebih ketat dan kadang baru dibai’at setelah melalui proses indoktrinasi panjang selama dua tahun. Tanpa kemampuan militer mumpuni seperti anggota JI yang dilatih khusus di Afghanistan dan Mindanao, sel JAD umumnya tidak menerima tadrîb ‘askarî yang terstruktur dan sistematis, karena itu amaliahnya sekelas bom panci seperti bom Kampung Melayu, Surabaya-Sidoarjo, dan Riau. Kemampuan militer mereka tidak sanggup menghasilkan aksi se-spektakuler Bom Bali. Terkesan amatiran, pelakunya kini mengambil pola baru: melibatkan keluarga dan anak-anak. Selain untuk mengaburkan identifikasi aparat, pelibatan anak-anak adalah untuk mengirim sinyal ke sel JAD lain bahwa kewajiban amaliah sudah menjangkau keluarga, isteri, dan anak-anak. Target operasi amaliah JAD umumnya kepolisian. Dari segi daerah operasi, terjadi pergeseran basis. Dulu DI/NII berbasis di Jawa Barat dan kemudian bergeser ke Jawa Tengah di bawah Sungkar-Ba’asyir yang mendirikan JI. Kini sel JAD yang paling aktif berada di Jawa Timur. Artinya, semua bagian Pulau Jawa telah terpapar radikalisme.
SERI-7 (BAGIAN AKHIR) PENUTUP
Senapan memang bisa membunuh teroris, tetapi tidak ideologinya. Radikalisme berakar dari ideologi salafi yang didirikan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701 - 1793 M). Ideologi salafi yang tidak toleran, absolutis, dan puritan membentuk cara berpikir radikal. Radikal adalah separo modal untuk menjadi teroris. Salafi dengan programnya yang keras menentang ‘syirik kubur’ dan amaliah bid’ah akan naik kelas menjadi jihadis begitu terpapar doktrin ‘syirik undang-undang’ yang merupakan materi tauhid hâkimiyah. Seorang jihadis akan menjadi teroris begitu siap melakukan ‘amaliah’ teror dengan iming-iming syahid, bidadari, dan surga.
Terorisme berakar dari doktrin-doktrin jihad qitâl yang dibangun Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan Sayyid Quthb (1906-1966 M), tauhid hâkimiyah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979 M), dan juknis jihad Abdus Salam Farag (1954-1982 M). Di tengah situasi perang, doktrin ini berkembang di tangan Abdullah Azzam (1941-1989 M), Abdurrab Rasul Sayyaf (lahir 1946 M), Usamah bin Ladin (1957-2011 M), Ayman al-Zawahiri (lahir 1951 M), dan Abu Bakar al-Baghdadi (1971-2017 M). Perang global melawan terorisme telah menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya. Paham salafi dan salafi-jihadi masih punya banyak pengikut dan juru bicara. Dalam sistem demokrasi, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian. Secara garis besar, dua kelompok salafi bersaing di panggung dakwah Indonesia: Salafi-Hijazi dan Salafi-Ikhwani.

Salafi-Hijazi
Salafi-Hijazi menginduk kepada doktrin Wahhabi dan pendapat duo ulama pro Kerajaan Arab Saudi—Bin Baz dan Nashirudin al-Albani. Kajian mereka seputar pemurnian tauhid dan ibadah, membahas ‘syirik kubur’ dan anti-bid’ah. Mereka apolitis, tidak menyentuh wilayah ‘syirik undang-undang’ atau demokrasi. Ini bisa dimengerti karena kiblat mereka adalah Arab Saudi yang berbentuk kerajaan. Sistem monarki, dalam perspektif salafi-jihadi, bermasalah dan bahkan disebut sebagai representasi dâr al- kufr.

Salafi-Ikhwani
Salafi-Ikhwani menginduk kepada al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir yang didirikan Hasan al-Banna. Dari rahim IM inilah lahir paham salafi-jihadi. Fokus gerakannya bukan hanya anti-bid’ah dan ‘syirik kubur,’ tetapi ‘syirik demokrasi dan undang-undang.’ Mereka menyerang demokrasi dan memurtadkan pemimpin muslim yang berhenti memperjuangkan syariat Islam. Jihad bagi mereka bukan hanya melawan agresor asing (kâfir harbî), tetapi juga terhadap penguasa setempat (kâfir mahallî) yang murtad karena enggan menegakkan hukum Islam. Seluruh doktrin salafi-jihadi—dalam semua variannya—bisa dilacak bersumber dari IM Mesir yang kemudian pecah menjadi banyak faksi.
Di dalam kelompok salafi dan salafi-jihadi banyak turunan dan pecahan, masing-masing bahkan saling mengkafirkan. Kelompok salafi, misalnya, menyebut salafi-jihadi sebagai reinkarnasi Khawarij. Namun, baik salafi maupun salafi jihadi, sama-sama bernaung di bawah fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah mentor intelektual dari seluruh aliran salafi. Paham salafi dan salafi-jihadi punya panggung untuk mentransfer paham dan keyakinannya melalui pengajian tertutup dan terbuka, bahkan diunggah ke media sosial untuk diikuti siapa saja. Terkadang mereka bukan hanya menyerang ormas lain seperti NU yang jelas berbeda, tetapi juga saling men-tahdzir di antara penganut salafi sendiri.
Pendekatan hukum mutlak tetapi tidak cukup. Memburu dan menghukum pelaku teror wajib. Namun, sejarah mencatat, teroris bisa dihukum mati tetapi tidak ajarannya.
Belajar dari kasus IM di Mesir, paham radikalisme justru menjamur di sel-sel penjara. Bahkan Ba’asyir dan Aman Abdurrahman bisa me-remote control aksi amaliah dari bilik jeruji. Pendekatan sosial-budaya berbasis masyarakat sipil harus bergandeng dengan pendekatan hukum-represif oleh negara. Dialog tetap penting untuk mengembangkan toleransi, mengakui fakta kemajemukan tafsir atas Islam, dan menghargai perbedaan pendapat. Institusi pendidikan juga berperan penting mencegah penyebaran radikalisme. Caranya, antara lain, memasukkan wawasan kebangsaan dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Materi ini penting untuk meletakkan dasar pemahaman bahwa umat Islam bukan hanya wajib menjadi muslim yang saleh, tetapi juga warga negara yang baik, yang tulus mengakui kebhinekaan dan menghargai perbedaan. NKRI berdasarkan Pancasila adalah common platform agar setiap orang bisa menjadi warga negara yang baik sekaligus penganut agama yang taat.


DAFTAR PUSTAKA
Ø Abou El Fadl, Khaled (2007), The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York: HarperCollins.
Ø Algar, Hamid (2002), Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY.: Islamic Publications International.
Ø Al-Maqdisi, Abu Muhammad Ashim (2000), Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah. Ttp: Minbar al-Tauhîd wa al-Jihâd.
Ø Al-Rasheed, Madawi (2007), Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. Cambridge: Cambridge University Press.
Ø As-Siba’i, Hani (2002), Qisshat Jamâ’ah al-Jihâd. London: Markaz al-Maqrîzî li-d-Dirâsat at-Târikhiyat.
Ø Azzam, Abdullah (1994), Fî Dzilâli Sûrat al-Tawbah. Peshawar: Markaz as-Syahîd Azzâm al-I’lâmi.
Ø Barber, Benjamin (1995), Jihad Vs. Mc World. New York and Canada: Times Books & Random House.
Ø Bonney, Richard (2004), Jihad: From Qur’an to Bin Laden. New York: Palgrave Mc Millan.
Ø Dijk, Cornelis van (1981), Rebellion under the Banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia. The Hague: M. Nijhoff.
Ø Dreyfuss, Robert (2007), Devil’s Game Orchestra Iblis: 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extremist. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.
Ø Hanafi, Hassan (1989), Al-Dîn Wa Al-Tsaurah fi Misr 1952-1981; al-Juz’ al-Sâdis, Al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah. Cairo: Maktabah Madbûli.
Ø Ibn Katsir, Al-Hafidz (1988), Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Vol. XIV. Beirut: Maktabah al-Ma’ârif.
Ø Parlindungan, Mangaradja Onggang (2007), Tuanku Rao. Yogyakarta: LKiS.
Ø Solahudin (2011), NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Ø Syaifullah (1997), Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ø Tibi, Bassam (1998), The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Barkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Ø Trofimov, Yaroslav (2007), The Siege of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and the Birth of Al Qaeda. New York: Doubleday.


Link Anatomi Paham dan Gerakan Radikalisme di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar