Jumat, 15 Desember 2017

Agama Mengajarkan Jangan Berdusta, Jangan Memfitnah, Jangan Su'ul Adab

Agama mengajarkan jangan berdusta. Lalu Sebagian orang beriman rajin sebar hoax demi bela agama.
Agama mengajarkan jangan memfitnah. Lalu Sebagian orang beriman rajin memfitnah untuk berdakwah.
Agama mengajarkan jangan su'ul adab, lalu sebagian orang beriman rajin mencaci maki dan berkata kasar hanya karena beda pendapat.
Agama mengajak menjaga ukhuwah dan kerukunan, lalu sebagian orang beriman rajin bertengkar dan berbuat adu-domba demi menjaga ukhuwah.
Agama mengajarkan Jika kamu tdk malu, berbuatlah semaumu. Lalu sebagian orang beriman tidak malu menghalalkan apa saja entah demi apa.
Sebagian Orang beriman rajin melakukan itu semua hampir tiap hari, dilambari dengan nada penuh kekerasan. Sebagian anak-anak kita diam-diam mengamati. Lalu menirukannya.
Membela Islam dengan menyebarkan hal-hal subhat, apalagi hoax, via medsos telah terbukti memecah-belah. Dengan dalih "untuk jaga-jaga" sebagian orang asal share berita yang kemudian terbukti hoax. Bohong jelas dilarang. Namun entah mengapa banyak yang tidak peduli. Apakah mereka tidak tahu itu tidak disukai Rasulullaah?
Bahkan kata-kata kasar pun digunakan untuk mengiringi provokasi atas dasar berita bohong atau sumir. Orang mengucapkan kata-kata kasar ke orang lain, dan jika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya sendiri ia marah. Orang dengan sinis menggoblok-goblokkan orang lain dengan kasar. Dan ketika dirinya digoblok-goblokkan, ia jengkel dan membalas dengan menuduh lawannya berkata kasar. Tiap hari mengkafirkan, menulis sindiran dan nyinyiran kasar, tetapi jika dibalas mendadak teriak dizolimi.
Aneh memang keadaan ini. Bahkan dalam hal mencintai Nabi pun ada pertengkaran. Yang satu merasa lebih mencintai Nabi dan.mengejek pihak lainnya yang dianggap hanya berdusta atau berlebihan dalam mencintai Nabi. Keluarlah ejekan: mencintai kok begitu, mencintai Nabi kok bla bla bla. Orang mendadak bisa menjadi hakim atas perasaan cinta orang lain, dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai tolok ukur cinta yang paling paripurna.
Kita malah bertengkar tentang siapa yang paling besar cintanya.
Jika mau belajar sejarah, situasi semacam ini sudah berlangsung berabad-abad, namun tak banyak yang mau mengambil pelajaran. Islam itu damai. Tetapi umatnya belum tentu mau damai.
Dalam situasi ini ada banyak pilihan. Ikut larut dalam pertikaian dan saling berdusta, atau belajar dengan sungguh-sungguh memperbaiki akhlak dan ilmu agar kalaupun hidup kurang bermanfaat bagi orang lain, paling tidak hidup kita tidak merugikan dan menyakiti orang lain. Jika beriman kepada yaumil hisab, idealnya kita yakin bahwa ada masa ketika mulut dikunci dan anggota tubuh bersaksi. Sekarang terserah kita: apakah jari jari kita akan kita manfaatkan agar ia bersaksi telah melakukan kebaikan, atau ia bersaksi telah digunakan oleh diri kita untuk saling memaki via tulisan dan untuk pencet sana sini menyebarkan dusta dan fitnah.
Jika kita yakin yaumil hisab itu ada, idealnya kita berhati-hati. Dosa kepada orang lain lebih sulit proses pengampunannya karena menyangkut hak bani adam. Kehati-hatian itu perlu karena Kanjeng Nabi pernah bersabda bahwa ada orang yang ibadah vertikalnya bagus namun bangkrut amalnya di akhirat. Jangan-jangan jempol dan jari-jari kitalah yang akan membangkrutkan amal kita.... naudzubillah.
Wa Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar