Selasa, 28 November 2017

Tentang Slogan "Kembali Kepada al-Qur`an & Hadits"

Tulisan ini didasari kepada keprihatinan terhadap selebaran liar yang berbunyi “Membela Nasionalisme tidak ada dalilnya, sedangkan membela Khilafah jelas dalilnya”. Kita tak boleh bosan meluruskan nalar yang kedengarannya indah namun sebenarnya sesat pikir. Sesat pikir itu terjadi karena simplifikasi ala slogan “kembali kepada Al-Qur`an & Hadits Shahih” yang sering diteriakkan oleh segolongan orang Islam. Mereka teridentifikasi sebagai golongan penganut Wahabisme. Teriakannya melengking kemana-mana, provokatif dan agitatif;

- “Jangan percaya Kiai!”
- “Jangan percaya Tuan Guru!”
- “Jangan percaya Habib!”
- “Kembalilah kepada Al-Qur`an & Hadits!”
- “Siapapun yang ngomong, asalkan yang diomongkan adalah Al-Qur`an & Hadits, maka pasti benar!”

Golongan pengangut Wahabisme mengembangkan “nalar sesat” seperti di atas untuk mengusung ide-ide aneh, yang kadang booming di media sosial :

Ide Pertama : Menolak tradisi sebagai bagian dari implementasi ber-Islam. Lagi-lagi didasarkan bahwa Al-Qur`an dan Hadits tidak pernah membahas tradisi, maka segala tradisi di-bid’ah-kan; di-haram-kan, di-musyrik-kan. Pokok ide ini adalah : seluruh kegiatan orang Islam yang tidak pernah diajarkan di Al-Qur`an dan Hadits secara tekstualis maka itu dilarang agama.
Ide Kedua : Menolak Madzhab. Kita jangan silau oleh jargon menipu : Nabi Saw & Para Sahabat tidak pernah mengajarkan bermadzhab. Pokok ide ini adalah : hanya Al-Qur`an dan Hadits-lah segala referensi dalam beragama, dan bukan Imam Madzhab. Tetapi mereka ini tidak menyadari bahwa gerakan Anti Madzhab itu ternyata membangun madzhab baru, yaitu Madzhab anti Madzhab.
Ide Ketiga : Mencita-citakan Khilafah Islamiyah, dan yang menolaknya adalah Thoghût—terminologi dalam Al-Qur`an untuk menyebut kaum yang durhaka kepada Allah Swt. Mereka hobby menyematkan kata Thoghût kepada siapa saja di luar kelompoknya. Pokok ide ini adalah bahwa di dunia ini ada 2 warna, yakni Iman & Thoghût. Kata Pancasila tidak pernah disebutkan di Al-Qur`an dan Hadits maka hingga isi-isinya pun mereka sebut Thoghût.

Slogan menolak tradisi dan mengharamkan bermadzhab, dengan jargon “Kembali kepada Al-Qur`an dan Hadits”, memang bukan barang baru dalam Islamic studies. Akan tetapi, “jurkam” jargon itu tidak pernah konsekuan dan tidak pernah konsisten, sebab faktanya dalam mengutak-atik agama mereka mengikuti : Ibnu Taimiyyah, lahir 661 H; atau Muhammad Abdul Wahhab, ideolog gerakan Wahabi, 1115 H; Albani, lahir 1333 H; Abd Aziz bin Abdullah Bin Baz lahir 1330 H; atau Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin lahir 1928 M.
***

Ada banyak model pertanyaan untuk menanya balik slogan & pertanyaan-pertanyaan di atas :
- “Kalau kita sakit, pergi ke dokter atau langsung membuka buku kesehatan?”
- “Jika kita naik bis, percaya dengan sopir atau sok tahu dengan bermodal peta?”
- Apakah yang dilakukan dokter itu tidak sesuai dengan buku kesehatan?
- Apakah sopir itu tidak mengerti jalan sehingga harus ia tuntun dengan peta yang ia bawa?
- Apakah laku dan pikir Kiai, Tuan Guru serta Habib tidak sesuai dengan Al-Qur`an & Hadits?

Mari kita ikuti pemikiran mereka dengan mengajukan beberapa pertanyaan :
• “Di dunia ini, siapakah orang yang paling memahami Al-Qur`an?”.
Jawabnya, tentu, adalah Nabi Muhammad Saw.
• Lalu, “Siapakah orang yang paling memahami Nabi Muhammad Saw?”.
Jawabnya, tentulah para Sahabat beliau.
• Pertanyaan selanjutnya, “Siapakah orang yang paling paham tentang Sahabat beliau?”.
Jawabnya, tidak lain dan tidak bukan, tentulah Tâbi’în serta Tâbi’it Tâbi’în, demikian dan seterusnya.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka” (HR. Bukhori Muslim). Atas sabda itu, Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan, “Yang benar bahwa masa Nabi Muhammad Saw adalah masa Sahabat, yang kedua adalah Tâbi’în, yang ketiga adalah Tâbi’it Tâbi’în.
Berdasarkan sabda itu pula dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw secara eksplisit mengajarkan kita untuk belajar Islam melalui Sanadul ‘Ilmi atau genealogi keilmuan, dan bukan langsung kepada Al-Qur`an dan Hadits. Yang lebih “celaka” lagi adalah belajar agama Islam melalui TERJEMAHAN Al-Qur`an.
Dari logika dan tradisi genealogi intelektual inilah ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mengaktualisasikan keislamannya, yaitu melalui apa yang dalam Islamic studies disebut sebagai “madzhab” tadi. Kolektor Hadits Shahih seperti Imam Bukhori dan Imam Muslim pun mengikuti jalan ini. Nahdlatul Ulama juga mengambil jalan ini—bermadzhab Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Kita memang tak boleh memutus silaturahmi, tetapi kita harus tegas dan waspada jika di samping kita ada orang-orang sebagai berikut :
 Orang-orang yang mengaku berlandaskan Al-Qur`an dan Hadits menolak tradisi (mulai tradisi 7 bulan, maulidan, tahlilan, haul, dan tradisi lainnya), serta menyebutnya sebagai bid’ah; haram, kegiatan musyrik. Mereka cari dalil "mitoni" (7 bulanan) di Terjemahan Al Qur'an tapi tidak menemukan, lalu putus asa dan buat fatwa.
 Orang-orang yang berkampanye “hanya Al-Qur`an dan Hadits-lah segala referensi dalam beragama, dan bukan Imam Madzhab”. Mereka sebenarnya ingin menjadi ulama, tetapi tidak punya kapasitas.
 Orang-orang yang ber-“mimpi” tentang Khilafah Islamiyah, tentang nalar rusak mereka yang berpikir bahwa NKRI & Pancasila serta seluruh produknya adalah Thoghût. Kita persilakan mereka untuk bermimpi, tetapi kita harus pastikan bahwa mimpi mereka tidak akan terwujud.

Intinya, hati-hati mendapati slogan indah yang sekilas nampak Islami, tetapi sebenarnya misleading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar