Jumat, 16 Juni 2017

Walisongo antara Dzauq Arobi & Syiir Jawa Islam

Dzauq itu semacam cita rasa seni. Orang Jawajelas beda dengan orang Arab. Budayanya saja tidak sama apalagi selera bahasanya...jauh.
Dulu waktu mondok pernah  bertanya pada pak kyai, kenapa syi’ir (puisi) Arab kok tidak terasa seninya?
Kamu gak punya dzauq Arobi... Jawab Kyai
Seperti lidah yang terbiasa makan pecel tumpang dipaksa menyantap nasi kebuli dengan kapulaganya. Ketelen sih, tapi dimana nikmatnya.
Uniknya, kita umat Islam punya dua buku panduan yang sama-sama berbahasa Arab: Al-Quran dan Hadits. Kalaupun membaca Arab bisa, lalu bagaimana dengan menikmatinya?
Maka terbayanglah oleh kita, betapa sulitnya Walisongo mengajarkan Islam ke penghuni Nusantara ini dahulu?
Ternyata rahasianya adalah para wali yang asli Arab itu “terpaksa” mendalami Dzauq Jawi hingga melebur manunggal rasa. dan itu perjuangan yang hebat.
Sebuah sikap ngalah yang akhirnya bisa meng’Islamkan sebagian besar Nusantara hingga jadi Muslim terbesar dunia.
Bukti sejarah dari Kebesaran Jiwa para wali itu terciptanya “makna ala pesantren” utawi iki iku
Terus terang sebagai santri jawa yang awam kami baru bisa merasakan Dzauq Arabi Al-Quran setelah dibacakan kiai dengan makna jawa yang aduhai..
Ada Jumlah Khobariyah yang diterjemahkan “utawi iku” Menemukan Rujuk pada dhomir yang tersembunyi hingga melacak isyarat pada Dzalika yang entah dimana...
Ini belum seberapa. Siapa pula yang menggubah Sluku-sluku batok yang sarat filosofi hingga menjadi pesan abadi sepanjang masa?
Wes ah....Ojo jeru-jeru marai lali guyu.. ora apik  :)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar