Kamis, 08 Februari 2018

Nahdlatul Ulama dan Islam Tradisional di Indonesia

Dalam kajian tentang Islam di Indonesia, sudah sering kita mendengarkan kategorisasi atau tipologi dalam bentuk oposisi biner antara modernisme Islam dan tradisionalisme Islam; antara golongan Muslim modernis dan yang tradisionalis. Kelompok atau organisasi yang digolongkan sebagai kaum modernis adalah Muhammadiyah atau Persatuan Islam (Persis) sementara kaum tradisionalis adalah Nahdlatul Ulama. Dalam tipologi ini biasanya kaum-
Muslim tradisionalis dipersepsikan sebagai golongan yang berpikiran sempit dan kolot karena mereka hanya ingin mempertahankan tradisi atau khazanah pemikiran Islam dari Abad Pertengahan yang sudah usang dan tidak cocok lagi dengan zaman modern. Mereka hanya ingin bertaklid kepada mazhab-mazhab yang didirikan oleh para Imam dari masa lalu. Kaum Muslim tradisionalis juga dipandang secara negatif karena mereka dianggap telah mencampur begitu saja antara ajaran Islam dengan sisa-sisa budaya lama di Indonesia yang amat kental dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha atau bahkan masih berbau animisme. Dalam pandangan ini, kaum Muslim modernis biasanya dipersepsikan sebagai golongan yang ingin memperbarui Islam dari kejumudan dan mengajak mereka untuk melepaskan diri dari belenggu taklid. Itulah sebabnya mereka menekankan pentingnya ijtihad atau pemikiran mandiri tanpa terikat kepada mazhab apapun. Mereka juga mengajak kaum Muslim untuk “kembali kepada Qur’an dan Hadis” sebagai dua sumber utama dan otentik Islam, alih-alih bertaklid kepada ulama atau Imam. Misi mereka yang lain tentu saja adalah membersihkan atau “memurnikan” Islam dari praktik-praktik animistik atau yang berbau Hindu-Buddha.
Kategorisasi ini tampaknya menarik dan juga cukup sederhana. Namun seperti banyak cara pandang sederhana manapun, kategorisasi ini menyimpan banyak masalah. Pertama mungkin, tipologi ini tidak dapat dipisahkan dari paradigma yang cukup luas beredar dalam pemikiran sosial di abad ke-20, teori modernisasi. Paradigma ini problematik karena visinya tentang sejarah yang bersifat linear dan progresif, juga cenderung memandang negatif tradisi atau masa lalu. Kedua, terdapat risiko bahwa tipologi modern-tradisionalis ini tidak dapat melihat perbedaan dan ketegangan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama misalnya, dengan objektif. Seperti yang dulu pernah diingatkan oleh Marshall Hodgson, cara pandang ini tampaknya melihat Islam hanya dari sudut pandang kaum modernis dan abai terhadap pendekatan yang lebih tradisional. Praktik Islam tradisional pastilah jauh lebih kompleks dan dinamis daripada kejumudan atau taklid yang selama ini selalu disematkan kepadanya. Dalam tulisan sederhana ini, saya bermaksud menjelajah semesta pemikiran keagamaan kaum Muslim tradisionalis seperti yang direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama, organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia.
Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 dalam konteks sejarah yang amat spesifik, yaitu kontroversi Khilafah yang berlangsung setelah Mustafa Kemal Ataturk menghapus kekhalifahan pada tahun 1924. Pada saat itu muncul gagasan untuk menghidupkan kembali kekhalifahan dan di Timur Tengah muncul dua kandidat yang bersaing memperebutkan posisi ini, yaitu Khedive Mesir dan Syarif Husain di Makkah. Keduanya berebut mendapatkan simpati kaum Muslim dengan mengundang perwakilan umat Islam dari pelbagai negara untuk menghadiri kongres khalifah yang bakal mereka adakan. Persoalan menjadi semakin rumit karena di tahun berikutnya Syarif Husain kehilangan kekuasaannya di tangan ʻAbd al-ʻAziz ibn Saʻud. Yang disebut terakhir ini merupakan penyokong kuat ajaran Wahhabi yang didakwahkan oleh Muhammad ibn ʻAbd al-Wahhab seabad sebelumnya. Gerakan Wahhabi terkenal karena sikap puritan dan intoleransinya terhadap praktik-praktik yang mereka anggap bertentangan dengan Islam yang benar.
Kekalahan Syarif Husain merupakan pukulan telak bagi kaum Muslim tradisional di Indonesia karena dalam waktu yang cukup lama, dua kota suci Islam, Makkah dan Madinah, merupakan tempat mereka mempelajari ajaran dan praktik Islam tradisional. Para ulama dan kiai terkemuka dalam tradisi Islam tradisional seperti Nawawi al-Bantani dan Mahfuz Termas, mendapatkan ilmu dan bahkan membina karier, di dua kota suci ini. Yang paling mencemaskan mereka tentu saja adalah bahwa ʻAbd al-ʻAziz ibn Saʻud akan bersikap tidak toleran terhadap praktik Islam tradisional di sana. Untuk mencapai tujuan ini, para kiai mendirikan Komite Hijaz sebagai perwakilan kaum Muslim tradisional yang mereka klaim telah bergabung dalam sebuah organisasi yang mereka dirikan: Nahdlatul Ulama.
Konteks ini sangat penting untuk ditekankan. Ia dapat menjelaskan alasan keberadaan Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi keagamaan (jamʻiyyah diniyyah). Nahdlatul Ulama didirikan memang untuk menjaga dan mempertahankan tradisi pemikiran Islam tradisional seperti yang dirintis dan dikembangkan oleh para ulama di Abad Pertengahan. Dalam tradisi pemikiran ini, tumbuh tradisi pengkajian ilmu-ilmu keagamaan (al-ʻulum al-diniyyah) yang meliputi fiqh, kalam, dan tasawuf. Fiqh adalah ilmu tentang hukum Islam; kalam adalah teologi Islam; sementara tasawuf adalah praktik spiritual Islam. Di dalam masing-masing disiplin ilmu ini, muncul beragam penafsiran terhadap agama oleh para Imam klasik yang dihormati hingga penafsiran mereka diangkat sebagai opini (mazhab) yang otoritatif. Perhelatan pemikiran dalam masing-masing disiplin ini tentu saja amat beragam dan dinamis. Namun pada akhirnya muncul proses eliminasi di mana pemikiran-pemikiran yang cenderung ekstrem ditinggalkan dan pada akhirnya konsensus mengerucut pada mazhab-mazhab yang dipandang moderat dan otoritatif. Dalam fiqh misalnya, para Imam yang dihormati antara lain Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafiʻi, dan Ahmad ibn Hanbal yang kemudian menjadi pendiri mazhab fiqh yang dinisbatkan pada nama mereka: Hanafi, Maliki, Syafiʻi, dan Hanbali.Dalam teologi, Abu-l-Hasan ʻAli al-Asyʻari dan al-Maturidi dipandang sebagai teolog Muslim yang cenderung moderat. Abu Hamid al-Ghazali biasanya dianggap memegang peran yang sama dalam bidang tasawuf.
Para pengkaji ilmu-ilmu Islam di Abad Pertengahan mengenal agama Islam dalam bingkai tradisi-tradisi atau mazhab-mazhab pemikiran ini. Di sini, terdapat dua konsep yang menjaga dan mengembangkan tradisi ini dalam batas-batas moderasi, yaitu taqlid dan ijtihad. Dua konsep ini tidak dapat dipahami secara oposisional seperti yang dibayangkan oleh kaum modernis, tapi harus dipahami sebagai dua konsep yang komplementer atau saling melengkapi satu dengan yang lain. Seorang Muslim yang tidak memiliki penguasaan mendalam terhadap sumber-sumber keagamaan Islam, Qur’an dan Hadis, harus mempraktikkan taqlid atau mengikuti mazhab seorang Imam yang ia percaya; ia tidak boleh berijtihad. Sebaliknya, seorang Muslim yang menguasai secara mendalam ilmu-ilmu keislaman wajib melakukan ijtihad atau mengkaji sendiri sumber-sumber keagamaan Islam tanpa bersandar pada seorang Imam pun. Di tengah-tengah dua kategori masih ada spektrum lain bagi Muslim berpendidikan yang ingin melakukan ijtihad, namun masih terikat dalam mazhab tertentu, yang disebut ijtihad fi-l-mazhab, ijithad yang terbatas.
Praktik pemikiran ini sepintas lalu tampak kaku dan konservatif. Namun demikian, praktik ini justru menyimpan potensi dinamika dan progresivitas yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok Muslim yang menyebut diri mereka modernis. Pertama, praktik ini mendorong sikap terbuka terhadap pluralisme pemikiran dalam Islam karena dalam Islam tradisional pemikiran Islam tidak pernah didorong untuk bersikap mutlak-mutlakan. Kaum Muslim tradisional selalu didorong untuk menyadari kenyataan bahwa terdapat banyak sekali penafsiran atau mazhab dalam Islam dan bahwa yang mereka cari bukanlah versi Islam yang paling murni melainkan yang paling moderat dan bijak di antara banyak tawaran yang lain. Dilihat dari sudut pandang Islam tradisional, jargon kaum modernis untuk “kembali ke Qur’an dan Hadis” justru berujung pada nonsens karena kita tidak akan pernah bisa kembali ke Qur’an dan Hadis. Pada akhirnya setiap pemikiran keagamaan dalam Islam pasti berlandaskan Qur’an dan Hadis; usaha apapun untuk meninggalkan suatu mazhab dan beralih ke “sumber Islam yang sebenarnya” hanya akan berakhir menjadi pemutlakan terhadap pendapat diri sendiri yang dipersepsikan sebagai “ajaran Islam yang sebenarnya.”
Kedua, penghayatan Islam sebagai praktik mazhab mendorong setiap Muslim tradisionalis untuk melihat fenomena keberagamaan sebagai praktik individual atau komunal, tanpa kaitan sedikitpun dengan negara. Praktik ini akan meminimalisasi respons-respons ideologis terhadap modernitas seperti yang kita saksikan saat ini dalam gerakan-gerakan Islamis seperti Ikhwan al-Muslimin, Jamaʻat-i Islami, Hizbut Tahrir, hingga Tanzhim al-Qa’idah-nya Osama bin Laden itu. Gerakan-gerakan ini melihat modernitas sebagai ancaman terhadap Islam dan ingin menghadirkan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap kapitalisme, komunisme dan isme-isme yang lain. Singkat kata, mengubah Islam menjadi Islamisme. Sebaliknya, reaksi kaum tradisionalis kuat berakar pada tradisi pemikiran Abad Pertengahan yang didominasi oleh fiqh dan oleh karena itu tampak luwes dan pragmatis dalam berhadapan dengan modernitas. Saya ingin mengambil contoh fatwa para ulama NU mengenai status negara Hindia Belanda sebagai Dar al-Islam pada 1935, penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, dan sikap para kiai kontemporer terhadap NKRI yang dianggap sudah final dan tidak perlu diubah-ubah lagi sebagai bentuk fleksibelitas dan pragmatisme para ulama tradisionalis dalam menyikapi modernitas.
Penghargaan dan toleransi kaum Muslim tradisionalis terhadap praktik-praktik lokal di Nusantara juga dapat dilihat dalam perspektif ini. Toleransi terhadap budaya lokal ini tidak dapat dilihat sebagai wujud kejumudan atau kebodohan kaum Muslim tradisionalis, tapi sebagai wujud penerimaan terhadap pluralisme budaya dalam masyarakat Islam. Praktik-praktik ibadah kaum Muslim boleh jadi relatif sama, namun pastilah terdapat variasi lokal dalam praktik Islam di masing-masing negara Muslim. Dalam perspektif fiqh, praktik Islam akan selalu berbeda bergantung pada perbedaan temporal maupun lokal, yang kemudian dimapankan dalam kaidah fiqh: Al-ʻadah muhakkamah. Meminjam ungkapan Gus Dur yang terkenal, “pribumisasi Islam” ini malah membuat Islam semakin membumi dan dianut oleh mayoritas penduduk Nusantara.Saya tidak dapat membayangkan seandainya Islam disebarkan tidak dengan cara-cara demikian!
Penghargaan kaum Muslim tradisionalis terhadap khazanah pemikiran klasik dari Abad Pertengahan juga tidak dapat dilihat sebagai tendensi konservatif belaka. Tradisi ini justru mendorong kaum Muslim untuk melihat praktik keagamaan Islam sebagai Tradisi Agung (“Great Tradition”) yang menghimpun pelbagai elemen gerakan intelektual yang kaya teori dan pengalaman. Pengalaman intelektual Islam selama lebih dari 10 abad yang tampak dalam tradisi-tradisi pemikirannya yang kaya, dapat dilihat sebagai bekal untuk menghadapi dan merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernitas. Kita malah dapat melihat usaha kaum modernis atau puritan untuk kembali ke praktik Islam yang asli dan murni seperti yang dipraktikkan oleh Nabi dan para Sahabatnya dengan mengabaikan tradisi intelektual Muslim Abad Pertengahan yang amat kaya itu sebagai kenaifan belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar